Jakarta – Keputusan Prabowo melakukan rekonsiliasi dengan cara “menarik” partai-partai di luar koalisi masuk dalam pemerintahan menuai dilema. Di satu sisi, keputusan ini bakal memperkuat pemerintahan, sehingga menjamin program-program pemerintah akan terlaksana dengan baik tanpa hambatan politis. Di sisi lain, melemahnya kekuatan oposisi justru akan membuat sistem pengawasan tidak berjalan dengan baik.
Peneliti Senior Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noor, menyatakan bahwa sebuah negara akan makmur jika oposisi di wilayah tersebut memiliki power. Adanya kekuatan oposisi menjadikan sebuah wilayah makmur sudah terbukti di berbagai negara maju.
“Jadi saya kira tidak masuk akal kalau ada oposisi berarti tidak stabil,” katanya dalam webinar bertajuk “Quo Vadis Demokrasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi”.
Lanjut Firman, oposisi masih memiliki harapan besar sebelum terjadinya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024. Saat itu oposisi diperkirakan akan mencapai angka 57 persen. Namun dengan berkembangnya wacana bergabungnya Nasdem dan PKB ke dalam pemerintahan mendatang, kekuatan oposisi hanya sebesar 25 persen.
“Sekarang sepertinya oposisi akan menjadi minoritas, sekitar 25 persen saja atau lebih kurang, kandidatnya PKS dan PDI Perjuangan,” katanya.
Firman memprediksi, kini seluruh partai politik tengah melakukan rekonsiliasi hingga pelantikan Presiden dan Wakil Presiden yang akan datang. Mereka akan mencari dan bergerak sesuai dengan kepentingannya masing-masing.
“Dan akan gayung bersambut karena memang ini terkait dengan banyak hal,” tegasnya.