Keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan gugatan tentang batas usia minimum capres dan cawapres yang semula 40 tahun menjadi 35 tahun menghebohkan publik. Keputusan itu seolah menjadi “karpet merah” bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi yang menjabat sebagai Walikota Solo, menjadi cawapres Prabowo Subianto.
Banyak pihak yang menganggap keputusan itu merupakan hasil intervensi Jokowi yang ingin melanggengkan kekuasaannya. Anggapan makin menguat karena Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman diketahui adalah adik iparJokowi, sehingga diduga keputusan tersebut mengandung konflik kepentingan. Istilah politik dinasti pun menggema di ruang-ruang publik.
Apa itu politik dinasti? Merujuk pada laman resmi Mahkamah Konstitusi, politik dinasti adalah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait hubungan keluarga. Semisal seorang penguasa mewariskan kekuasannya kepada anaknya. Sistem seperti ini lazim digunakan oleh negara yang menganut sebuah sistem monarki.
Namun selain politik dinasti, ternyata ada juga yang disebut dinasti politik. Meski sekilas nampak sama sehingga orang sering salah kaprah, dua istilah ini sebenarnya berbeda.
Hilda Zuhdi, dalam tulisannya yang berjudul Pengertian Dinasti Politik, menjelaskan dinasti politik merupakan kekuasaan yang didapatkan dengan cara primitif, karena mengandalkan darah keturunan beberapa orang.
Dalam laman resmi Mahkaman Konstitusi, Zulkieflimansyah menjelaskan adanya dinasti politik bakal menyulitkan terwujudnya cita-cita demokrasi. Pasalnya tidak terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih (clean and good governance). Fungsi kontrol kekuasaan melemah dan tidak berjalan efektif. Adanya dinasti politik juga sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan kekuasaan, seperti korupsi, kolusi dan nepotisme begitu tinggi.
Melihat dampaknya, wajar kalau kemudian banyak pihak mengecam keras pelaku praktik dinasti politik. Upaya keras nan berliku selama ini membangun negara demokrasi dengan pemerintahan yang baik dan bersih bisa kandas.
Publik boleh menduga-duga, tetapi kebenaran selalu kembali pada hati nurani masing-masing. Terutama hati nurani Jokowi dan Anwar Usman. Benarkah memang ada peran Jokowi di balik putusan Mahkamah Konstitusi? Benarkan Anwar Usman tersandera konflik kepentingan saat memutuskan? Sekali lagi, hanya hati nurani yang bisa menjawab.
Apapun jawabannya, hanya satu hal yang pasti: sesuatu yang diawali niat baik dan dijalani dengan proses yang baik (jujur), hasil akhirnya pun pasti baik. Bagaimana kalau tidak? Kita sudah tahu jawabannya. Jadi mari kita lihat saja hasil akhirnya nanti. Gusti ora sare.
- Oleh: Robby Go, Pemerhati masalah sosial politik