Jakarta – Pakar komunikasi politik sekaligus Direktur Nusakom Pratama Institute, Ari Junaedi, menegaskan pidato Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di Rakornas Relawan Ganjar-Mahfud merupakan peringatan untuk pemerintah agar tidak kembali pada zaman Orde Baru (Orba).
Ari menjelaskan, Megawati adalah politisi senior tanah air yang masih berkecimpung di panggung politik hingga hari ini. Sehingga sangat wajar jika ada kritik untuk pemerintah, lantaran situasi politik belakang ini yang berada di luar nalarnya.
“Ibu Megawati pernah jadi oposisi saat Orba, pernah jadi wapres dan presiden. Sehingga apa yang dilontarkan Ibu Megawati menjadi kewajaran. Tingkat kesabaran ibu Mega tidak bisa ditahan lagi dan dikeluarkan oleh Bu Mega,” kata Ari, Rabu (29/11).
Kendati demikian, Ari menilai kritik yang disampaikan oleh Megawati masih dalam koridor dan norma yang wajar.
“Saya justru melihat Bu Mega secara tegas tidak menyebut nama orang dalam pidatonya tersebut,” ucapnya.
Pengajar diberbagai perguruan tinggi tanah air ini pun menegaskan kritik yang disampaikan oleh Megawati kepada pemerintah tersebut tidak akan menimbulkan instabilitas politik dalam negeri. Sekali lagi, Ari menekankan bahwa kritik tersebut untuk mengingatkan penguasa agar tidak kembali pada rezim Orba.
“Justru instabilitas itu dilakukan sendiri oleh rezim. (kritik) ini cuma peringatan dari Bu Mega. Jauh sebelumnya ada Majelis Rembang yang menyuarakan kritik serupa. Ini akumulasi dari kekecewaan politik yang dimunculkan sendiri oleh Jokowi,” tegas Ari.
“Begitu besarnya pengaruh kekuasan sehingga kepala desa ketakutan luar biasa. ini tidak pernah kita jumpai sekali pun saat Orba berkuasa. ini keresahan tokoh bangsa,” sambungnya.
Lebih jauh Ari menambahakan, gelombang kritik hingga aksi akan terus disuarakan oleh tokoh-tokoh bangsa selama ketidakadilan dan kesewenang-wenangan masih terus dilakukan oleh rezim hari ini.
Apalagi, sambung Ari, pembegalan hukum secara terang-terangan dilakukan oleh penguasa saat keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres sehingga anak muda bisa maju pada Pilpres 2024. Ditambah lagi, alat negara seperti perangkat desa, aparat penegak hukum hingga ASN yang disinyalir digunakan oleh rezim untuk memenangkan salah satu pasangan calon di Pilpres 2024.
“Tentu kalau perangkat atau piranti hukum tidak dilakukan (perubahan) konsekuensinya maka itu akan terjadi. Bahwa proses regenerasi ingin dipatahkan melalui dinasti. Gibran dan Kaesang yang hari ini menjadi Cawapres dan Ketum PSI. Ada satu hal lagi, bendera hitam matinya demokrasi sudah layak dipasang. Sekali lagi pernyataan Bu Megawati untuk mengingatkan kita agar jangan lagi rezim Orba kembali,” pungkasnya.