Oleh: Dr. Harris Turino, ST., SH., MSi., MM – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
Perusahaan Tambang Bukit Asam (PTBA) adalah satu-satunya perusahaan tambang batubara yang dimiliki oleh pemerintah Indonesia. BUMN ini sekaligus adalah perusahaan tambang tertua di Indonesia dan memiliki total sumber daya batubara di dalam bumi sebesar 5,83 milyard ton dengan total cadangan 3,05 milyard ton.
Sementara total produksi tahunannya hanya berkisar antara 30-33 juta ton per tahun, sehingga dibutuhkan waktu lebih dari 100 tahun untuk menghabiskan cadangan tersebut. Angka produksi ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan perusahaan tambang swasta, yaitu PT. Bumi Resources sebesar 85 juta ton, PT. Adaro sebesar 65 juta ton, PT. Kaltim Prima Coal (KPC) sebesar 56 juta ton, PT. Bayan Reources sebesar 40 juta ton, dan PT. Kideko Jaya Agung sebesar 35 juta ton.
Kunjungan kami kali ini ke salah satu pelabuhan Bukit Asam yang terletak di Palembang akan mencoba mencari jawab atas hal ini, sekaligus menyoroti kinerja keuangan perusahaan yang menurun drastis tahun ini.
Dari paparan pak Arsal Ismail, selaku Dirut PTBA, kami mulai memahami duduk persoalannya. Bagi perusahaan tambang, eksploitasi batuan sama sekali tidak mengalami kendala. Perusahaan bisa mengeduk berapapun yang dibutuhkan. Ternyata bottle necknya ada di soal kapasitas dermaga dan keterbatasan mobilisasi batubara dari lokasi tambang ke pelabuhan.
Di lokasi Dermaga Kertapati yang kami kunjungi saat ini, luasan dermaga hanya 10 hektar, sehingga dengan menggunakan 2 unit shiploaders yang masing-masing memiliki kapasitas 1000 ton per hour (tph), maka total kapasitas dermaga hanya maksimal 10-12 juta ton per tahun. Untuk meningkatkan kapasitas ini diperlukan perluasan dermaga, di mana ini tidak mungkin dilakukan karena lahannya memang sudah tidak ada.
Satu-satunya lahan yang tersedia adalah dermaga milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang saat ini disewa oleh PT. Semen Baturaja. Kebetulan utilisasi dermaga yang dioperasikan oleh PT. Semen Baturaja saat ini sangat rendah, sehingga sebetulnya sebagian bisa dialih-sewakan kepada PTBA. Tetapi dalam dunia BUMN, hal yang sederhana seperti ini tidak mudah dilakukan. Masih dominan ego sektoral yang menyulitkan terjadinya sinergi antar BUMN, apalagi yang holding (induk) nya berbeda.
Kendala kedua adalah keterbatasan fasilitas angkut batubara dari tambang ke pelabuhan. Seperti diketahui bahwa batubara hanya boleh dimobilisasi dengan menggunakan angkutan kereta api barang. Kapasitas angkut kereta api saat ini hanya maksimal 7 juta ton per tahun. Sehingga kapasitas produksi di Dermaga Kertapati maksimal hanya 7 juta ton per tahun. Entah di mana titik hambatnya sehingga tampaknya ada kebuntuan diskusi untuk menambah kapasitas angkut. Dari pernyataan Dirut PTBA, jika isue nya adalah soal besaran investasi yang harus dilakukan oleh PT. KAI, maka PTBA bersedia untuk ikut menanggung biasa investasi tersebut.
Kebuntuan sinergi seperti ini memicu kami sebagai anggota Komisi VI DPR RI untuk mencari jalan politik untuk mendobrak kebuntuan tersebut. Prinsipnya harus tercipta sinergi antar BUMN agar nilai tambah yang bisa dinikmati oleh negara semakin besar, sehingga pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tantangan lain yang dihadapi oleh PTBA adalah tingginya kewajiban DMO (domestic market obligation) untuk menyediakan sumber energi bagi industri dalam negeri. Perusahaan tambang batubara swasta hanya diwajibkan memenuhi DMO sebesar minimal 25% dari total produksinya, PTBA memiliki kewajiban sebesar 26,7 juta ton setahun, atau hampir setara dengan 90% dari total produksinya. Sementara harga DMO dipatok hanya sebesar USD 70 per MT kepada PLN dan USD 90 per MT kepada Semen Indonesia dan Pupuk Indonesia. Harga internasional saat ini masih cukup tinggi, yaitu sebesar USD 130 per MT, walaupun sudah mengalami penurunan drastis dari USD 260 – 280 per MT di tahun 2022. Disparitas harga yang tinggi ini menyebabkan hampir semua perusahaan batubara swasta bisa berpesta pora menikmati keuntungan, sementara PTBA hanya bisa mencicipi keuntungan yang sangat terbatas.
Dengan harga DMO yang tidak pernah ditinjau selama 3 tahun, dan kenaikan biaya produksi yang harus ditanggung oleh PTBA, maka wajar bila perusahaan negara ini harus berpacu dan mengandalkan operational excellent (efisiensi) untuk mempertahankan keuntungannya. Apalagi ditambah dengan dicabutnya subsidi angkutan oleh PT KAI, tingginya fuel surcharge oleh KAI dan kenaikan royalty kepada pemerintah yang lebih dari 100%, semakin membebani keuangan perusahaan. Wajar bila tingkat keuntungan bersihnya turun dari Rp. 12,6 triliun pada tahun 2022 tinggal menjadi Rp. 5,6 triliun (prognosa) pada tahun 2023.
Memang pemerintah melalui Kementerian ESDM sudah mewacanakan untuk memberlakukan MIP (Mitra Instansi Pengelola), semacam dana yang dikumpulkan oleh pemerintah atas keuntungan perusahaan yang melakukan ekspor batubara dan dibagikan kepada perusahaan yang memenuhi kewajiban DMO di atas 25%. Sampai saat ini wacana tersebut belum bergulir, karena masih mengganjal di Kementerian Koordinasi Ekuin dan Kementerian ESDM. Melihat siapa saja pemain swasta yang keuntungannya bakalan tergerus dari penerapan MIP ini, mudah ditebak bahwa MIP tidak akan “buru-buru” untuk dilaksanakan.
Di samping semua kendala yang dijabarkan di atas, PTBA sebenarnya berkejaran dengan waktu. Pemerintah sudah mencanangkan bahwa mulai tahun 2060 seluruh PLTU harus sudah menggunakan energi yang bersih. Semua pembangkit yang menggunakan bahan bakar batubara secara bertahap akan dihentikan. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi di seluruh dunia. Berarti bisa dipastikan bahwa industri tambang batubara adalah industri yang masuk ke fase sunset.
Ada dua langkah strategis yang harus segera diambil oleh PTBA. Pertama tentu harus meningkatkan kapasitas exploitasi sebesar-besarnya selama batubara masih memiliki nilai pasar yang menguntungkan. Kedua adalah mempersiapkan pengembangan hilirisasi batubara, bukan sebagai sumber energi tetapi dikembangkan produk derivatifnya. Pengembangan gasifikasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) sebagai pengganti LPG sudah pernah dijajagi, tetapi saat ini proyeknya terhenti akibat mundurnya investor dari Amerika Serikat yang merasa bahwa harga keekonomiannya sulit untuk tercapai, apalagi bila tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah.
Kegagalan ini tentu tidak boleh mengkandaskan harapan PTBA, bila tidak ingin dicatat hanya dalam sejarah batubara di Indonesia. Pengembangan hilirisasi batubara ke produk lain seperti activated carbon, ethanol dan methanol, anoda sheet dan produk turunan lainnya harus mulai dilaksanakan secara intensif dan sungguh-sungguh. Hilirisasi ini bukan hanya akan meningkatkan nilai tambah bagi perusahaan, tetapi sekaligus menyelamatkan perusahaan dari masa depan yang suram.
Harus diakui bahwa masuk ke sektor hilirisasi membutuhkan sumber daya dan kapabilitas yang berbeda total dengan sumber daya dan kapabilitas yang dimiliki oleh PTBA saat ini. Sekarang khan fokusnya hanya pada eksploitasi batubara dari mulut bumi dan efisiensi logistik untuk memobilisasi batubara, sedangkan hilirisasi membutuhkan tehnologi yang jauh lebih rumit. PTBA tidak boleh berhenti pada tahap wacana, tetapi sudah harus masuk ke tahap akuisisi sumber daya dan kapabilitas baru yang dibutuhkan. Waktunya bukan besok atau tahun depan, tetapi sekarang dan saat ini.
Tulisan ini disampaikan sebagai perenungan dari seorang anggota Komisi VI DPR RI yang awan soal industri batubara, atas hasil dari Kunjungan Kerja Spesifik Komisi VI DPR RI ke Dermaga Kertapati di Palembang.
Palembang, 22 Nopember 2023