Jakarta – Program Satu Keluarga Miskin Satu Sarjana yang ada dalam dokumen Visi-Misi Ganjar Mahfud merupakan program paling konkret sekaligus paling realistis dari sisi anggaran dan capaian dalam memutus rantai kemiskinan, dibanding program pendidikan paslon capres-cawapres lainnya. Program pendidikan yang ada di paslon lain seperti pemberian makan siang gratis dinilai tidak realistis dan tidak mampu menjawab persoalan kemiskinan.
“Melalui Program 1 Keluarga Miskin 1 Sarjana ini Mas Ganjar dan Pak Mahfud menjawab semua mimpi seorang ibu, semua orang tua yang berasal dari keluarga miskin atau tidak mampu untuk dapat melihat anaknya menjadi sarjana. Ketika sang anak berhasil menjadi sarjana, kelak ia akan mampu memperbaiki kualitas hidupnya, keluarganya, dan mengangkat derajat serta martabat keluarganya,” ujar Juru Bicara TPN Ganjar-Mahfud, Aris Setiawan Yodi dalam keterangan persnya, Senin (20/11/2023).
Menurut Aris, ide terkait program 1 keluarga miskin 1 sarjana ini muncul atas refleksi dan pengalaman hidup Mas Ganjar sendiri yang terlahir dari keluarga yang sangat sederhana. Ia menjalani dan memahami betul, ketika ia berhasil menjadi sarjana pertama di keluarganya, ia memiliki kesempatan yang lebih baik untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya, sekaligus derajat dan martabat keluarganya.
“Saya sangat sepakat jika program 1 keluarga miskin 1 sarjana ini dijadikan program prioritas, karena saya sangat relate (terkait) dan punya pengalaman terkait itu. Jujur saya adalah anak pertama dan juga sarjana pertama di keluarga inti saya, bahkan di keluarga besar saya. Saya lulus tahun 2016 dari Fisipol UGM. Tidak berselang lama di tahun 2017 saya diterima bekerja sebagai wartawan di salah satu media nasional dengan gaji hampir Rp 7 juta / bulan. Cukup jauh di atas UMR Jakarta saat itu yang ada di angka Rp 3,3 juta / bulan,” tutur Aris.
“Menjadi sarjana membuka peluang setiap orang mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, ayah saya yang lulusan SMA hanya bekerja di bengkel dan sampai saya lulus kuliah, gajinya paling tinggi Rp 3 juta / bulan, (di bawah UMR Jakarta) maka dia perlu berutang sana sini untuk membiaya kuliah saya. Setelah jadi sarjana, dan mendapatkan pekerjaan yang layak, saya bisa berbagi ke orang tua, bahkan dengan pekerjaan saat ini sebagai peneliti bisa membantu membiayai sekolah dan kuliah adik. Menjadi sarjana benar-benar konkret dan terbukti mampu memutus mata rantai kemiskinan,” lanjut Aris.
Menurut Aris, dari segi anggaran dan sasaran, program 1 keluarga miskin 1 sarjana sangat realistis dan konkret. Dari segi anggaran misalnya, jika sasarannya keluarga miskin, saat ini ada sekitar 10 juta keluarga miskin yang tercatat oleh pemerintah sebagai penerima PKH. Sementara itu, jumlah penerima KIP (Kartu Indonesia Pintar) Kuliah yang dikhususkan untuk keluarga miskin pada 2023 jumlahnya hanya 994,3 ribu mahasiswa (tidak sampai 1 juta mahasiswa). Dengan asumsi 10 juta keluarga miskin itu semuanya memiliki anak yang memenuhi syarat usia untuk kuliah, artinya di tahun 2023 negara hanya menyekolahkan tidak sampai 10% mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin.
“Kita hitung-hitungan saja, kalau ada 10 juta mahasiswa dari keluarga miskin yang akan dibiayai negara sampai sarjana, biaya hidup per bulan Rp 1 jt/bulan x 12 bulan = Rp 12 jt/ tahun. Rp 12 juta per tahun dikali 10 juta mahasiswa, maka jumlah anggaran yang dibutuhkan sekitar Rp 120 triliun / tahun. Jumlah itu kalau kita tambahkan dengan biaya UKT Rp 8 juta / 2 semester (1 tahun) x 10 juta mahasiswa = Rp 80 triliun. Jadi, Rp 120 trilliun + 80 triliun = Rp 200 triliun total anggaran yang dibutuhkan negara untuk menyekolahkan minimal 1 anak (mahasiswa) dari seluruh keluarga miskin yang ada di Indonesia,” kata Aris.
Jumlah anggaran tersebut dinilai Aris masih sangat realistis jika melihat alokasi APBN 2023 untuk pos pendidikan yang mencapai Rp 600 triliun. Dari jumlah itu, Rp 237,1 triliun adalah alokasi untuk beasiswa PIP (SD-SMA) dan KIP Kuliah, serta tunjangan guru non PNS. Adapun, Rp 305,6 triliun alokasi itu untuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke daerah untuk sekolah hingga PAUD. Sementara Rp 69,5 triliun sisanya untuk dana abadi pendidikan, penelitian, perguruan tinggi, dan kebudayaan.
“Kalau per tahun butuh Rp 200 triliun untuk dikuliahkan minimal 1 anak dari 10 juta keluarga miskin, itu penyesuaiannya sangat masuk akal dari total Rp 600 triliun anggaran pendidikan di APBN. Nah, kalau program dari paslon lain yang misalnya kasih makan siang dan susu gratis semua siswa di sekolah itu yang tidak realistis, wajar kemarin ada ulama kampung di Malang yang menolak program itu,” ujar Aris.
“Coba kita hitung-hitungan, misalnya satu porsi nasi ayam / ikan ditambah susu di Jakarta sekitar Rp 25.000 / porsi. Di Indonesia menurut BPS ada 57,98 juta siswa dari TK-SMA/SMK. Jika dikalikan per hari butuh Rp 1,5 triliun, dikalikan lagi jumlah efektif hari siswa sekolah per tahun itu menurut Kemendikbud rata-rata 255 hari, 1,5 triliun x 255 hari, total dibutuhkan Rp 369,6 triliun per tahun untuk kasih makan siang gratis dan susu kepada siswa di Indonesia,” lanjut Aris.
Jumlah anggaran sebanyak itu menurut Aris terlampau besar karena artinya ada lebih dari 60% anggaran pendidikan nasional di APBN yang akan tersedot hanya untuk makan siang gratis siswa TK-SMA. Lantas, bagaimana untuk anggaran BOS ke daerah? Tunjangan guru non PNS? beasiswa untuk ke tingkat sarjana? Dana abadi untuk riset? Jumlahnya pasti akan dikurangi jika anggaran makan siang gratis tetap dan nampaknya akan pasti bersumber dari APBN.
“Memberi makan siang gratis tidak jelas target apa yang ingin dicapai. Hal itu juga tidak konkret memutus rantai kemiskinan, karena tidak ada jaminan siswa yang diberi makan siang gratis akan dibiayai kuliahnya. Artinya, tidak ada efek mengurangi kemiskinan dari program pendidikan tersebut. Wajar jika kemarin program tesebut kemarin ditolak oleh Kiai Kampung di Malang,” tutur Aris.