Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto menilai sikap Pemerintah terkesan ambigu dalam merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Sebab, satu sisi ingin pemanfaatan sumber energi nuklir dimaksimalkan, tapi di sisi lain Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) malah dibubarkan.
Dengan kondisi demikian, kata Mulyanto, maka Komisi VII pesimis Pemerintah dapat mewujudkan target membangun PLTN pada tahun 2032.
“Secara umum saya menyambut baik rencana Pemerintah yang ingin membangun PLTN sebagai pembangkit listrik alternatif untuk menekan emisi karbon. Tapi saya lihat cara dan tahap perencanaannya bermasalah,” kata Mulyanto dalam keterangannya.
“Pemerintah terkesan tidak paham tahapan strategis dalam membangun infrastruktur pengembangan dan pengelolaan nuklir. Pemerintah ingin bangun PLTN tapi BATAN sebagai lembaga yang berwenang mengatur segala hal terkait ketenaganukliran malah dibubarkan,” sambungnya.
Hal ini, menurutnya, bukan hanya melanggar undang-undang, melainkan juga membuat lemah fungsi pemanfaatan ketenaganukliran dalam pembangunan PLTN.
Oleh karena itu, ia minta Pemerintah mengaktifkan kembali BATAN sebagaimana yang diamanatkan undang-undang.
“Jika Pemerintah serius Go Nuclear, harusnya BATAN segera dihidupkan dan dikokohkan kembali fungsinya, bukan malah dibubarkan,” tegasnya.
Sebelumnya, dalam RDP Komisi VII DPR RI dengan Dirjen Gatrik, Dirjen EBTKE dan Dirut PLN, Rabu (15/11) tentang draft revisi Rencana Umum Pengusahaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2024-2033, Pemerintah dan DPR sepakat untuk memasukan pembangunan PLTN sebagai salah satu cara pemanfaatan EBET untuk mengurangi keberadaan PLTU (pembangkit listri tenaga uap).
Dari beberapa opsi, PLTN menjadi pilihan utama dalam pengembangan Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET). Karena sifat EBET yang intermiten fluktuatif bergantung kondisi panas matahari dan kecepatan angin, maka untuk operasi base load (beban dasar) yang besar, hanya mungkin ditutupi dari sumber PLTA atau PLTN.
Terkait hal tersebut Mulyanto minta Pemerintah membuat rencana kerja pembangunan PLTN yang realistis. Mengingat tahun 2032 itu sebentar lagi maka Pemerintah didesak untuk segera membentuk NEPIO (nuclear energy power implementing organization) sebagai lembaga pendamping dalam pembangunan PLTN pertama di Indonesia, sesuai syarat IAEA (badan tenaga nuklir dunia).
Selain itu Pemerintah perlu mengisi Anggota Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir (MPTN).
Sebelumnya diketahui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan akan mulai mengembangkan energi nuklir secara komersial mulai tahun 2032.
Pemanfaatan energi nuklir itu akan ditingkatkan sampai 9 Giga Watt (GW) hingga tahun 2060 mendatang.