Jakarta – Pakar Hukum dari Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menegaskan bahwa aparat keamanan seperti TNI/Polri harus bersikap netral pada Pemilu 2024 nanti.
Titi mengatakan, jika TNI/Polri tidak dapat menjaga netralitas dalam Pemilu akan ada biaya mahal yang dikeluarkan. Hal tersebut pernah menjadi pengalaman Indonesia pada tahun 2016 silam.
Kala itu, Pilkada di 10 Tempat Pemungutan Suara (TPS) Kabupaten Mamberamo Raya, Papua, harus diulang karena adanya campur tangan aparat.
“Pentingnya aparat keamanan dan birokrasi itu netral sudah sangat terang-benderang menjadi pengalaman kita di Pilkada. Sebagai contoh ketika aparat tidak netral ongkosnya mahal sekali,” kata Titi dalam diskusi catatan kritis KontraS di Jakarta, Rabu (15/11).
Titi menyampaikan, dalam kasus di Mamberamo Raya, Mahkamah Konstitusi (MK) sempat menggelar sidang akibat Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala Daerah (PHP Kada) Kabupaten Mamberamo Raya.
Saat itu diduga ada keterlibatan 20 anggota brimob yang mengintervensi proses PSU. Mereka melakukan intimidasi kepada Kepala Kampung Fona agar memilih salah satu kandidat, dengan iming-iming mendapat uang senilai Rp 500.000. Para warga pun diancam akan ditembak bila tidak memilih salah satu kandidat.
“Itu Pilkada di beberapa TPS harus diulang karena ada keterlibatan aparat dalam hal ini Polri Brimob dalam proses pemungutan suara. Bayangkan, berapa biaya untuk pemungutan suara ulang di TPS. Ini di Papua lho, yang lokasinya sangat remote,” ucap Titi.
Oleh karena itu, Titi meminta semua pihak berlaku netral hingga proses pemungutan suara pada 14 Februari 2024 mendatang.
Menurut Titi, netralitas aparat keamanan merupakan satu dari 6 hal yang perlu dijaga. Adapun lima lainnya meliputi penyediaan kerangka hukum Pemilu yang demokratis; diselenggarakan penyelenggara Pemilu yang independen, profesional, dan kredibel; diikuti peserta Pemilu yang kompetitif dalam arena kontestasi yang adil dan setara; efektivitas penegakan hukum pemilu; serta pemilih berdaya dan terinformasi baik.
“Itu rangkaian proses di mana antara satu tahapan dan tahapan lain saling terhubung yang sama-sama harus kita jaga. Jadi ekses dalam ketidaknetralan itu adalah mempertaruhkan hasil, bahkan Pemilu bisa diulang gara-gara ketidaknetralan,” jelas Titi.
Dalam catatan kritisnya, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencium berbagai potensi pelanggaran, kecurangan, penyalahgunaan kewenangan dalam pemilihan calon presiden dan calon wakil presiden pada 14 Februari 2024.
Potensi itu terjadi karena sikap tidak netral atau memihak kepada salah satu calon tertentu.