Jakarta – Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengajak para intelektual untuk bersuara demi menyelamatkan demokrasi bangsa.
Awalnya, Bivitri sangat miris melihat situasi bangsa saat ini yang dinilainya semakin terpuruk, ditambah lagi para intelektual tidak mau buka suara terkait semakin terpuruknya proses demokrasi di Tanah Air.
Dia meminta semua pihak untuk berani menggunakan kompas moral bahwa yang salah itu salah, yang benar itu benar.
“Saya terganggu banyak orang pintar khususnya orang hukum tapi masih bisa diam saja melihat ada yang salah luar biasa dalam penyelenggaraan negara belakangan ini. Apapun alasannya,” kata Bivitri saat berbicara di diskusi “Menyelamatkan Demokrasi Dari Cengkeraman Oligarki dan Dinasti Politik” di Jakarta, Selasa, 14 November 2023.
Dia menilai ada yang gamang dan punya kekhawatiran mau apa jelang Pemilu mendatang. Bivitri meminta agar sebaiknya merenung sejenak dan jangan kuatir dicap mendukung salah satu pasangan hanya karena membuka keburukan salah satu pasangan calon.
“Kita semua take our time jangan buru-buru bertanya saya pilih siapa. Wajar dalam demokrasi punya pilihan dan jangan khawatir dicap kalau bicara keburukan satu pasangan logikanya mengendorse yang lain. Logika elektoral ini yang kita harus hati-hati pendekatannya. Logika moral dulu. Nanti, sapapun yang dipilih terserah. Mau memilih atau tidak juga hak kita. Tapi dari pagi-pagi ini punya kekhawatiran bersikap karena tidak mau dicap salah satu pendukung calon, ini demokasi kita bahaya,” urai Bivitri.
Oleh karena itu Bivitri meminta kepada para intelektual untuk tidak memikirkan logika elektoral terlebih dahulu hingga Pemilu pada 14 Februari 2024 nanti selesai dilaksanakan.
“Pegangan kita adalah kompas moral kita. Kok bisa ada intelektual melihat suatu kesalahan tapi diam saja. Ini pertanda bahwa demokrasi kita bahaya,” kata Bivitri.
Oleh karena itu, Bivitri mengajak para intelektual untuk menyelamatkan demokrasi dengan bersuara.
“Mari kita mulai bapak ibu sekalian menyelamatkan demokrasi ini dengan cara pertama-tama Kita bersuara dulu, jangan khawatir untuk dikelompok-kelompok kan. Biarlah kalau dikelompokkan biar kita sendiri yang tahu nanti 14 Februari memilih apa tidak, dan kalau memilih, memilih siapa. Jangan kuatir dan cemas dulu soal itu, karena yang kita hadapi sekarang ini bukan soal 14 Februari. Yang kita hadapi sekarang adalah masa depan demokrasi Indonesia,” ujarnya.