Jakarta – Sejumlah tokoh dan elit partai politik menyampaikan kritik keras kepada penguasa yang dinilai tidak adil. Terlebih, mereka menggunakan alat negara untuk kepentingan penguasa dan kelompoknya.
Ketua Umum DPP PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menyinggung soal putusan Majelis Kehormatan MK (MKMK) yang menyatakan Ketua MK Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat dalam keputusan perkara 90. Putusan itu yang membuat Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka bisa maju di Pilpres 2024.
Mega mengaku prihatin dengan pusaran kasus di MK. Ia mengatakan konstitusi mestinya menjadi pranata kehidupan berbangsa dan bernegara. Mega menyebut putusan MKMK pada Selasa (7/11) memberikan cahaya terang di tengah kegelapan demokrasi.
Dia menilai putusan MKMK yang menyatakan Anwar Usman melakukan pelanggaran etik berat membuktikan bahwa politik moral masih berdiri kokoh menghadapi rekayasa hukum konstitusi.
“Keputusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi telah memberikan cahaya terang di tengah kegelapan demokrasi,” kata Mega.
Putri Presiden ke-1 RI Soekarno itu menyebut MK juga menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa. Menurut dia, MK dibentuk untuk mewakili kehendak masyarakat setelah reformasi.
Megawati mengatakan kehendak masyarakat atas reformasi adalah perlawanan terhadap watak dan kultur pemerintah yang otoriter dan sentralistik. Kultur itulah yang akhirnya melahirkan korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Dalam kultur otoriter dan sangat sentralistik ini, lahirlah nepotisme, kolusi, dan korupsi. Praktik kekuasaan yang seperti inilah yang mendorong lahirnya reformasi,” kata Mega.
Sementara itu, Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh dalam orasi politik, di Ballroom Nasdem Tower, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (11/11) mengatakan penguasa yang berlaku tidak adil demi kepentingannya tidak bisa dibiarkan.
Apalagi, jika kepentingan itu menjadikan pemilu tidak adil dengan mengubah peraturan peradilan.
“Hukum ketentuan dalam segala perundang-undangan dan lembaga peradilan adalah manifestasi dari keadilan. Dalam sebuah kompetisi, secara fairness adalah bentuk rasa keadilan itu” jelas Surya
“Kita tak bisa diam ketika ada penguasa yang berlaku tidak adil demi kepentingan tertentu, demi kepentingan kelompoknya,” tambah dia.
Orang nomor satu di NasDem itu menilai Indonesia bisa saja mengalami kondisi yang sulit asalkan didasari oleh nilai keadilan, nilai kepatutan dan kepantasan.
“Sebaliknya, mau kesejahteraan apa pun, semakmur apa pun suatu bangsa jika tidak ada keadilan di dalamnya, maka gugatan demi gugatan lah yang akan terus datang silih berganti,” jelas dia.
Seperti diketahui, selain PDI Perjuangan, kini Partai NasDem ikut mengkritik Presiden Joko Widodo dan keluarganya. Seperti diketahui PDIP dan Nasdem selama ini merupakan partai politik pendukung Jokowi di pemerintahan.
Bahkan Surya Paloh menegaskan tak mengusung putranya Prananda Surya Paloh sebagai cawapres dalam Pilpres 2024. Dia memikirkan aspek kemampuan dan pengalaman yang dimiliki sang putra.
“Tentu saya berpikir dalam hati saya, pantas enggak dia menjadi calon wakil presiden? Walau saya punya kesempatan mencalonkan dia, tapi saya berpikir, pantas atau enggak?” tegasnya.
Senada dengan Megawati dan Paloh, Anggota DPR periode 1999 – 2004 Didi Supriyanto mengakui sepanjang sejarah Pemilihan Presiden (Pilpres) pasca reformasi, Pilpres 2024 ini diwarnai ketidaknetralan aparat pemerintah
“Pengerahan aparat yang digunakan untuk memasang baliho capres tertentu tetapi disisi lain malah memberangus baliho capres yang lain di beberapa daerah menjadi bukti aparat digunakan oleh rezim yang berkuasa,” kata Didi.
Didi menjelaskan, informasi yang beredar menyebut ada perintah sinkronisasi CCTV termasuk sistem audio milik KPU dan Bawaslu dengan Polres di daerah-daerah men jadi bukti bahwa penguasa hari ini selalu menggunakan alat negara untuk kepentingan sendiri dan kelompoknya.
“Ini menjadi bukti “cawe-cawe” aparat yang begitu dalam di Pilpres dan Pemilu. Pernyataan Ibu Megawati Soekarnoputeri yang menyoroti kondisi miris penegakkan hukum adalah sebuah pandangan yang obyektif atas realita hukum sekarang ini. Hukum begitu mudah digunakan rezim Jokowi untuk kepentingan kroni-kroninya,” tegasnya.