Jakarta – Sejumlah organisasi buruh tersinggung dengan ucapan capres Prabowo Subianto agar buruh jangan terlampau menekan pengusaha soal upah karena bisa membuat banyak pengusaha angkat kaki.
Wakil Ketua Umum DPP Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Arnod Sihite mengatakan pernyataan Prabowo tersebut sangat menyakitkan untuk para buruh.
“Banyak masukan dari buruh ke kami yang mengaku tersinggung dengan pernyataan beliau ini,” kata Arnod Sihite.
Ia menilai Prabowo seperti tidak memahami persoalan buruh dengan baik. Ia menegaskan soal kenaikan upah buruh merupakan proyeksi pemerintah sejak lama.
“Artinya Pak Prabowo tidak memahami persoalan buruh ini dengan baik. Dan terkesan justru mengintimidasi buruh. Tidak begitu sikap pemimpin,” ungkap Arnod.
Arnod menjelaskan sikap pemerintah sudah jelas bahwa gaji pekerja harus mencapai Rp10 juta per bulan. Ini agar Indonesia bisa naik kelas menjadi negara maju.
“Ini bukan dari saya tapi sikap pemerintah saat ini yang menargetkan Indonesia untuk keluar dari zona negara berpenghasilan menengah pada 2045 mendatang. Ini bagus. Jangan dikacaukan lagi. Atau mungkin memang beliau kurang paham situasi buruh?” ungkap dia.
Senada dengan KSPSI, Ketua Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Ihamsyah mengatakan bahwa pernyataan Prabowo tersebut mewakili kepentingan kelasnya, borjuasi atau pemilik modal, yang tidak senang dengan adanya kenaikan upah buruh.
Biasanya, kata dia, borjuasi memang tidak ingin kenaikan upah buruh karena mengurangi keuntungan yang diperolehnya.
Di sisi lain, kata dia, pernyataan Prabowo menggambarkan ketidakpahamannya terhadap permasalahan keseharian buruh di Indonesia.
“Upah salah satu agenda utama perjuangan buruh selama ini. Nah, bila dia mengatakan tidak perlu untuk menuntut kenaikan upah setiap tahun dan harus memaklumi pengusaha itu menunjukkan watak kelasnya,” kata Ilhamsyah, Jumat (11/6/2023).
Menurut dia, semestinya seorang capres menunjukkan keberpihakannya terhadap mayoritas rakyat Indonesia dalam kerangka redistribusi kekayaan bisa adil dan merata. Negara dapat meredistribusi kekayaan dengan meningkatkan pajak untuk pengusaha.
Selain itu, negara bisa mengurangi sedikit keuntungan yang diperoleh pengusaha dengan menaikkan upah buruh. Apalagi, pertumbuhan ekonomi Indonesia didongkrak konsumsi rumah tangga yang dipengaruhi besaran upah buruh.
“Upah yang kecil tentu akan membuat daya beli juga akan semakin rendah. Daya beli rendah akan membuat serapan terhadap konsumsi juga menjadi rendah. Dengan begitu, tentu produktivitas juga akan menurun kalau daya beli tidak ada. Semakin tinggi upah, konsumsi akan semakin tinggi dan secara otomatis juga akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) Ristadi menilai Prabowo tak tahu realita kehidupan yang dialami buruh. Kenyataannya, kebutuhan hidup semakin hari semakin mahal mulai dari biaya pendidikan anak hingga sewa rumah.
“Subsidi pemerintah itu bisa meringankan dalam waktu pendek saja. Prabowo tahu tidak masuk awal biaya anak sekolah sekarang puluhan juta? Prabowo tahu tidak sewa kontrakan mahal terus naik tiap tahun?,” kata Ristadi dalam keterangannya.
Menurut Ristadi selama ini banyak pengusaha tidak mau terbuka soal kondisi keuangan perusahaan kepada buruh. Kondisi itu membuat pekerja tidak tahu kondisi sebenarnya yang dialami perusahaan sehingga menuntut kenaikan upah sesuai tingkat kebutuhan hidup.
“Salah pengusaha juga tertutup soal ini dengan pekerja buruh karena dianggap urusan dapur yang pekerja tidak boleh tahu. Jadi saat untung pengusaha nggak mau cerita, baru saat merugi cerita, akhirnya pekerja nggak percaya,” tuturnya.
Sebelumnya, capres Prabowo Subianto meminta agar buruh jangan terlampau menekan pengusaha soal upah. Ini bisa membikin banyak pengusaha angkat kaki.
“Jangan kau tuntut pengusaha (naikkan UMP), kalau tidak untung. Jangan mencoba mencekik pengusaha, kalau pengusaha ditekan dia bisa pindah ke negara lain,” kata Prabowo kata Prabowo dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta.