Oleh: Bona – Pengamat Politik
Sorak sorai menggema ketika mendengar pidato anak magang yang diawali dengan kalimat “Tenang pak Prabowo, saya sudah ada di sini”, seolah sudah memenangkan Pilpres 2024. Penuh percaya diri, bahkan boleh dikata sangat arogan, seolah dia berbicara dengan para pembantu Bapaknya. Faktanya memang beberapa Ketum Partai yang hadir adalah bawahan pak Lurah. Saya jadi ingat video ketika dia mencopot masker Paspampres dengan kasarnya. Cara-cara seperti itu memang kelihatannya sengaja ditunjukkan untuk menutupi kelemahannya sebagai bocah ingusan.
Sementara para Ketum Partai bertepuk tangan riuh, walau dalam hati mereka juga ikut terenyuh. Semuanya terpaksa memberi jalan, bahkan karpet merah, agar dosa-dosa politiknya tidak terbongkar oleh Gedung Bundar. Tak dapat dipungkiri, pasti masih tersisa kesumat yang sewaktu-waktu akan meledak, tentu kalau situasi sudah lebih aman. Atas nama keselamatan diri, terpaksa mereka tunduk dengan takzim.
Yang menjadi pertanyaan adalah, benarkah kemenangan Prabowo adalah sebuah keniscayaan karena didukung oleh penguasa yang sedang haus kekuasaan dan tentu diperkirakan akan menggunakan segala cara untuk meraih tujuannya. Apalagi didukung oleh sumber daya melimpah, sampai-sampai muncul bantuan sembako El Nino yang janggal. Apalagi tentu Aparat Penegak Hukum siap untuk “mengamankan” pertandingan yang harus dimenangkan?
Kejadian tahun 2014 bisa menjadi rujukan. Saat itu Cawapres Prabowo adalah Hatta Rajasa, seorang Menko Ekuin yang sebelumnya pernah menjabat di tiga pos kementerian lain, mulai dari Menristek, Menhub dan Mensekab selama 10 tahun berturut-turut. Beliau juga Ketua Umum DPP PAN setelah sebelumnya menjabat sebagai Sekjend DPP PAN sejak tahun 2000. Sekaligus beliau adalah besan dari Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden yang berkuasa pada saat pemilu dilaksanakan. Hasilnya kita sama-sama tahu bahwa Prabowo gagal dan kalah dalam pilpres tersebut. Kalau di analisa secara cermat, peluang terbesar Prabowo untuk menjadi Presiden sebenarnya adalah di tahun 2014.
Sekarang Cawapresnya Prabowo jauh lebih lemah, hanya seorang Walikota selama dua tahun, yang sebenarnya belum cukup umur untuk berlaga, sehingga terpaksa mengutak-atik konstitusi yang menimbulkan kemarahan banyak sekali pendukung militan Jokowi. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi “the guardian of the constitution” dijadikan alat untuk melapangkan jalan si anak magang untuk ikut berlaga, tentu dengan menabrak etika dan batasan kewenangan. Akibatnya MK jadi banyak dipelesetkan menjadi Mahkamah Keluarga dan lagu kuno “Paman Datang” menjadi popular kembali.
Jadi, walaupun didukung oleh penguasa dengan segala kewenangan yang melekat, sama sekali tidak ada jaminan Prabowo untuk menang. Apalagi akses media sosial sudah semakin luas dan masyarakat bisa menilai siapa yang sebenarnya layak dipercaya untuk memimpin Indonesia ke depan. Tunggu di 14 Februari 2024, masyarakat yang cerdas akan menghukumnya di TPS.