Pengamat kebangsaan Sukidi menyatakan, fenomena politik di Indonesia akhir-akhir ini, terutama dengan majunya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto bisa diartikan kita benar-benar memasuki politik dinasti. “Tepatnya, saya sampaikan ucapan selamat datang Politik Machiavelli,” kata Sukidi pada sebuah diskusi televisi baru-baru ini.
Nicolo Machiavelli merupakan filosof Italia yang terkenal dengan tulisannya ‘The Prince’ dan dipublikasikan pada 1532. Machiavelli terkenal dengan pemikiran politik bagaimana sebuah kekuasaan diraih dan dipertahankan.
“Yang terjadi sekarang ini adalah sebuah praktik ‘the will to power’, kehendak untuk berkuasa, dipertahankan, dirawat dan dipelihara dengan berbagai cara. Selamat datang Politik machiavelli, cara melihat kekuasaan terlepas dari panduan moral, panduan etika, dan panduan nilai luhur bangsa,” kata cendekiawan muslim lulusan Harvard itu.
Efek dari Politik Machiavelli, lanjut Sukidi, melahirkan kepemimpinna yang disandarkan pada kelicikan, keculasan dan mengabaikan prinsip meritokrasi. Padahal, ketika para pendiri republik memilih sistem demokrasi pada berdirinya bangsa ini, mereka berimajinasi bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik untuk memberi kesetaraan kepada semua warga negara, sehingga demokrasi dipilih dan bukan monarki.
“Namun, Kita sekarang menyaksikan bahwa republik ini didirikan berdasarkan demokrasi, tapi berpikirnya dengan cara monarki. Demokrasi langsung dijadikan alasan pembenaran untuk merawat kekuasaan, dengan intervensi pengerahan sumber daya negara untuk merawat kekuasaan itu sendiri,” tegas doktor bidang kajian Islam yang mempertahankan disertasi berjudul ‘The Gradual Qur’an’ ini.
Pada kesempatan yang sama, peneliti hukum tata negara Bivitri Susanti berpendapat dalam demokrasi semua ada pagarnya. Pagar itu tak hanya hukum dan institusi penegakan hukum, tapi juga etik. “Kita tak hanya bisa bilang, oh politik dinasti itu tak dilarang undang-undang. Seakan-akan itu sah. Itu cara berpikir yang menanggalkan moralitas politik,” ungkapnya.
Pengajar di pengajar di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera ini menjelaskan, dalam demokrasi, kita sebaiknya tak hanya melihat hasilnya, tapi bagaimana cara untuk mendapat hasil itu. “Dalam hal ini dia memanfaatkan relasi elit dan budaya feodal untuk meraih hasil yang diinginkan,” pungkasnya.