Oleh: Hariadhi, CEO PT Semoga Segera IPO, Konsultan Komunikasi Politik dan Pemerintahan sejak 2011
Saya tersenyum melihat upaya pihak lawan mati-matian mengkomunikasikan pentingnya pemimpin muda, dengan menyandingkan muka junjungan yang dibela mati-matian dengan nama-nama terkenal yang memang sudah proven, sukses sebagai kepala negara atau pemerintah di berbagai negara. Atau minimal sudah membuktikan dirinya memang pejuang tangguh dengan memenangkan pemilihan.
Yang perlu diperhatikan lagi, dalam menyajikan data, kita tidak boleh cherry picking. Apakah semua pemimpin muda itu pasti baik? Belum tentu. Mari kita buka datanya.
Hal menarik yang saya temui dari salah satu poster yang dijadikan propaganda pemimpin muda di dunia internasional tersebut, terselip nama Nayib Bukele, presiden El Salvador yang naik di usia 38 tahun, setelah dizalimi partainya sendiri, FMLN. Ia juga bukan anak yang membangun kerajaan bisnisnya dari nol. Bukele mewarisi kekayaan bapaknya yang juga pebisnis besar, Armando Bukele Kattán. Terdengar akrab dengan kisah hidup seseorang? Hmm.. mari kita lanjutkan dulu memahami track recordnya selama memegang kekuasaan.
Segera setelah dibuang FMLN, Nayib Bukele membangun partainya sendiri, dan maju dengan citra sebagai pemimpin muda yang memberontak terhadap kemapanan. Jurusnya berhasil, ia terpilih dengan suara 53 persen.
Namun minimnya pengalaman dalam memimpin tidak bisa dibohongi dengan pencitraan. Baru saja memimpin, ia sudah mendorong El Salvador ke dalam krisis kepemimpinan. Kesal karena usahanya mengajukan pinjaman ke Amerika Serikat ditentang parlemen, ia memerintahkan intimidasi dengan mendatangkan tentara ke gedung wakil rakyat untuk memaksa mereka menerima pengajuan pinjaman tersebut dan bawa-bawa nama Tuhan untuk menjustifikasi aksinya.
Penanganan wabah COVID di El Salvador juga dikenal sebagai salah satu yang terburuk di dunia. Saat mayat bergelimpangan di jalan, para pejabat justru memanfaatkannya sebagai ajang korupsi. Transparansi menghilang dan anggaran yang seharusnya digunakan untuk meringankan beban masyarakat, lari entah ke mana. Ribuan orang ditangkapi karena penerapan lockdown dengan tangan besi dan kekerasan, sehingga menjadi catatan pelanggaran HAM yang mempermalukan El Salvador.
El Salvador juga menjadi negara yang terkenal dengan kebodohannya, terburu-buru mengadopsi bitcoin menjadi cadangan kekayaan negara dan legal tender, tanpa pertimbangan matang. Bitcoin memang terdengar seperti program kekinian ala anak muda, namun sikap gegabah Bukele terbukti membuat 56 juta dollar kekayaan negara menguap, yang kemudian berusaha ditutupi dengan hutang baru, setelah harga bitcoin anjlok hingga setengahnya setelah kebijakan tersebut diumumkan.
Mungkin dalam penanganan kriminalitas dan kekerasan antar gang, El Salvador bisa dianggap cukup baik, namun bukannya tanpa cela. Bukele dicurigai menggunakan dana bantuan luar negeri untuk melakukan kompromi dan kolusi dengan kelompok kriminal agar mereka mau menurunkan tingkat kekerasan. Manipulasi ini hanya bekerja dalam jangka pendek. Dua tahun setelahnya, kerusuhan antar gang kembali meledak dan ia terpaksa mengumumkan keadaan darurat. Catatan pelanggaran HAM kembali melonjak, memperlihatkan kepanikan dan inkompetensi Nayib Bukele dalam memimpin bangsanya.
Bukele juga tercatat berusaha mengangkangi konstitusi dengan mengubah batasan masa kepresidenan. El Salvador sebenarnya hanya mengizinkan satu kali masa jabatan, dengan catatan jika seorang mantan presiden ingin mencalonkan dirinya kembali, ia harus menunggu dulu selama 10 tahun. Menjelang akhir masa pemerintahannya, peraturan tersebut dipaksa berubah menjadi boleh menjabat dua kali berturut-turut dengan cara mengatur hakim yang akan menolak pemaksaan syahwat politik ini dengan dalih pembatasan usia pensiun.
Dengan semua sikap seenak perutnya mengatur negara sebagai seorang diktator, rendahkah kepuasan rakyat atas Bukele? Justru sangat tinggi, 87 persen. Jauh lebih baik dibanding Jokowi sekalipun.
Tapi apakah popularitasnya menjadi alasan membenarkan segala tindakannya? Tentu tidak..
Mari kita lihat contoh pemimpin muda lainnya, Kim Jong Un, diktator bengis luar biasa, yang juga naik di usia muda, yang sayangnya lupa atau pura-pura lupa dimasukkan dalam poster propaganda ini. Mungkin malah yang termuda dari seluruh pemimpin muda dunia saat ini. Bagaimana cara Kim Jong Un naik? Tentunya dengan memanfaatkan kekuasaan bapaknya. Korea Utara tidak mengenal batas masa kepemimpinan. Maka saat Kim Jong Il mulai sakit-sakitan, Kim Jong Un dipersiapkan.
Dengan pengaruh ayahnya, Kim Jong Un memulai karir politiknya dengan dipaksakan masuk jadi ketua parlemen, namun tampaknya gagal karena memang terlalu minim pengalaman. Ia lalu diangkat begitu saja menjadi anggota Komisi Pertahanan Nasional.
Tak sampai setahun, ia dikarbit lagi menjadi Ketua Partai, untuk kemudian langsung menggantikan peran sebagai Pemimpin Agung Korea Utara, lagi-lagi dengan pengaruh bapaknya. Kim Jong Il sampai merasa perlu memaksa pegawai-pegawai kedutaan besar di luar negeri diambil sumpah setianya kepada Kim Jong Un. Lagu khusus pemujaan terhadap dirinya diciptakan dan diwajibkan dinyanyikan di seluruh penjuru negeri.
Tahun berikutnya, tiba-tiba Kim Jong Un sudah menjadi Jenderal Bintang Empat dengan posisi Wakil Ketua Komisi Militer Sentral, walau tak punya pengalaman secuil pun berkarir di militer. Dan demi meredam suara miring, maka ratusan orang ditangkapi tanpa alasan, beberapa dibunuh, terutama dari pendukung Jang Song Thaek and O Kuk Ryol, untuk memastikan tidak ada rival dalam suksesi ini.
Menyusul kematian Kim Jong Il pada 17 Desember 2011, Kom Jong Un langsung mengambil tahta. Hasil berikutnya sudah bisa ditebak. Inkompentensi dan track record yang minim membuat Kim Jong Un harus memaksakan penghormatan dan ketaatan kepada dirinya. Ia memang menyelenggarakan Pemilu, namun hanya menyajikan rakyat pilihan Ya dan Tidak, dalam menyetujui dirinya berkuasa secara penuh dan total, baik di eksekutif maupun legislatif.
Lebih buruk lagi, ia terbiasa menggunakan kekerasan untuk memastikan kepatuhan total kepada kepemimpinannya. Kita tentu pernah mendengar Jenderal Kim Hyon Yong-chol yang dieksekusi mati dengan senjata mesin anti pesawat hanya karena tertidur saat ia sedang berpidato. Lebih kejam lagi, ratusan orang dieksekusi dengan cara keji, diumpankan ke piranha atau sekumpulan anjing yang kelaparan.
Sekali lagi, apakah Kim Jong Un populer? Sangat populer! Di beberapa tempat, dukungan kepadanya mencapai 100 persen. Bahkan di negara tetangga yang menjadi musuhnya pun, Korea Selatan, survei membuktikan Kim Jong Un disukai oleh 78 persen rakyat Korea Selatan.
Luar biasa bukan? Tapi seperti juga Diktator El Salvador Nayib Bukele, apakah ukuran popularitas boleh dijadikan untuk membenarkan segala tindakan dan cawe-cawe politiknya?
Hanya orang yang sudah kehilangan nurani dan akal sehatnya yang akan mati-matian menjawab, “Ya! Ini adalah sebuah langkah catur demi kebaikan kita bersama.”