Jakarta – Dalam peluncuran Laporan 4 Tahun Pemerintahan Jokowi, Kontras menilai Jokowi kian melenceng jauh dari koridor konstitusi dan demokrasi.
Bertepatan dengan empat tahun masa pemerintahan periode kedua Presiden Joko Widodo, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) kembali menerbitkan catatan evaluasi atas kinerja di sektor demokrasi dan Hak Asasi Manusia (HAM). Berbagai catatan yang disusun dalam laporan ini merupakan upaya konstitusional yang dilakukan masyarakat sipil dalam kerangka pengawasan di tengah lemahnya mekanisme check and balances – yang dilakukan lembaga formal. Secara umum, dalam laporan ini, kami menyoroti regulasi, kebijakan dan langkah strategis Presiden Jokowi kemudian mengukurnya dengan prinsip demokrasi, HAM dan rule of law.
Dalam menyusun laporan ini, KontraS mengumpulkan data dengan menggunakan berbagai metode seperti pemantauan media, data advokasi, tinjauan literatur serta data jaringan. Selain itu, kami pun melakukan diskusi dan tukar pikiran dengan beberapa ahli yang memiliki keilmuan tentang demokrasi dan konstitusi. Data-data tersebut pun kami kami analisis menggunakan standar-standar HAM yang berlaku secara universal.
“Fenomena yang terus terjadi selama empat tahun belakangan ini tentu saja merupakan kemunduran demokrasi, hal tersebut tampak dari sejumlah fakta, fenomena dan penelitian. Kemunduran demokrasi dapat dilihat dari aspek akuntabilitas, yang mana terdapat upaya untuk menutup jalannya pemerintahan dari pengawasan dan intervensi publik,” kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Dimas Bagus Arya.
KontraS, lanjut Dimas, menyimpulkan bahwa berbagai penyusunan regulasi dan kebijakan era pemerintahan Jokowi-Ma’ruf menunjukan adanya fenomena executive heavy dan fenomena autocratic legalism. Jokowi-Ma’ruf dianggap melanggengkan praktik pemimpin otoriter atau otokratis
Berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan strategis dibuat dengan proses partisipasi yang sangat minim. Dalam berbagai Undang-Undang bahkan watak otoritarian begitu mengemuka terlihat dari langkah Presiden Jokowi yang menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja sebagai produk inkonstitusional bersyarat.
Artinya, selain tak partisipatif dalam pembuatan regulasi, upaya-upaya menguji terhadap keputusan pemerintah pun dipreteli habis ruangnya. Kami menyimpulkan bahwa berbagai penyusunan regulasi dan kebijakan yang ada menunjukan fenomena Executive Heavy. Selain itu, fenomena autocratic legalism yang mana praktik pemimpin otoriter atau otokratis yang menggunakan sistem hukum, termasuk peraturan dan undang-undang, untuk memperkuat dan mempertahankan kekuasaan mereka pun terus berlanjut.
Adapun situasi menyusutnya ruang kebebasan sipil pun tak kunjung mengalami indikasi perbaikan. Watak opresif dan anti kritik negara tercermin begitu kental dalam tindakan brutal yang dilakukan aparat di lapangan. Lebih lanjut, UU ITE menjadi momok utama dalam kebebasan berpendapat di ruang digital. Sayangnya, produk hukum ini tak kunjung direvisi sehingga terus memakan korban setiap tahunnya. Adapun bentuk-bentuk penyerangan digital seperti hacking, doxing, dan profiling terus berlanjut tanpa ada proses pengungkapan serta penindakan tegas. Tak ada satupun pihak yang bertanggungjawab atas berbagai serangan digital khususnya peretasan menimbulkan suatu kecurigaan, bahwa negara turut terlibat dalam aktivitas illegal ini.
Kemunduran demokrasi dan pengangkangan konstitusi pun terlihat di sektor ekonomi-pembangunan. Ambisi tinggi pemerintah untuk dapat melangsungkan pembangunan di beberapa daerah di Indonesia nyatanya tidak berimbang dengan semangat penghormatan terhadap HAM dan penjaminan ruang hidup masyarakat. Terlebih lagi, arahan Presiden yang berupaya untuk memfokuskan penyelesaian Proyek Strategis Nasional (PSN) di tahun 2023 dan 2024 telah berelasi lurus dengan timbulnya berbagai bentuk pelanggaran HAM kepada masyarakat. Pelanggaran HAM berbasis pembangunan sejatinya tidak hanya muncul dalam sektor PSN, tetapi berbagai bentuk pelanggaran HAM turut hadir dalam beberapa proyek lainnya khususnya sumber daya alam. Aktor swasta maupun aparat keamanan dalam beberapa kasus semacam bekerja sama untuk merampas ruang hidup masyarakat. Praktik bisnis dan arus masuk investasi justru berimplikasi secara destruktif.
Adapun nilai yang terus diperjuangkan oleh masyarakat sipil pasca runtuhnya rezim orde baru yakni diwujudkannya reformasi sektor keamanan. Sayangnya, berbagai langkah yang diambil oleh Presiden Jokowi justru menguatkan sel-sel militerisme sebagaimana yang terjadi di era Soeharto. Pendekatan keamanan dengan melibatkan aktor-aktor keamanan dijadikan sebagai ‘senjata’ untuk menyelesaikan pelbagai masalah. Cara pandang ini yang kemudian terus menciptakan fenomena pelanggaran HAM.
Permasalahan institusi Polri yang menjadi sorotan masyarakat belakangan ini karena sering bertindak represif sehingga melukai masyarakat pun tak disikapi secara serius. Kendati telah menegur dan memanggil jajaran petinggi Polri, perubahan signifikan pun tak pernah terjadi. Sebab, akar masalah tak kunjung tersentuh. Begitupun dalam konteks militer, tak kunjung direvisinya UU Peradilan Militer telah berimplikasi pada langgengnya impunitas dan institusi yang kebal hukum.
Begitupun langkah-langkah Presiden yang menjauhkan TNI sebagai institusi yang profesional dengan menambah beban pekerjaan militer di sejumlah tugas sipil. Fenomena yang terjadi tentu dwi-fungsi TNI yang kian menegaskan Jokowi tak berbeda dengan Soeharto. Tanda-tanda menguatnya militerisme dan mundurnya agenda reformasi sektor keamanan juga dapat dilihat dari nir akuntabilitas institusi intelijen. Hakikatnya, intelijen harus didayagunakan untuk kepentingan yang berkaitan dengan sistem keamanan nasional. Sayangnya, terdapat aroma penyalahgunaan instrumen intelijen untuk kepentingan politik Presiden, salah satunya dengan memata-matai partai politik.
Pekerjaan rumah Presiden yang tak kunjung tuntas dan justru kian memburuk yakni agenda penegakan hukum. Lembaga-lembaga penegak hukum bersikap tidak profesional dengan ‘menghajar’ oposisi atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah. Penegakan hukum pun tidak menjawab rasa keadilan publik, tercermin dari Kasus Kanjuruhan. Selain itu, Presiden pun terus memperpanjang politik impunitas yang terbukti dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat masih belum menjadi agenda utama pemerintah.
“Presiden Jokowi cenderung lebih suka menggunakan pendekatan non-hukum dan tak terukur untuk menyelesaikan suatu masalah maupun kejahatan dibuktikan dengan adanya pemisahan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat berbasis metode yudisial dan non-yudisial yang digagas pada rezim Joko Widodo melalui Tim Penyelesaian Pelanggaran Hak Asasi Manusia secara Non Yudisial (Tim PPHAM),” kata Dimas.
Hal berbahaya lainnya dalam konteks demokrasi tentu adanya potensi Presiden Jokowi untuk melakukan intervensi politik menjelang kontestasi Pemilu di tahun 2024. Presiden bahkan tak malu-malu mengungkapkan akan melakukan cawe-cawe politik. Pernyataan ini jelas menunjukan bahwa Presiden tidak memahami secara utuh arti penting demokrasi dan konstitusi. Wujud ketidakpahaman tersebut tentu ada pada sikap yang diduga tidak netral. Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan presidensialisme. Sehingga segala bentuk kekuatan kenegaraan dapat digerakan dengan mudah dan mengikuti perintah Presiden.
Lebih jauh, dalam aspek internasional, kendati telah dinobatkan sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk keenam kalinya, pekerjaan rumah masih menumpuk. Salah satunya yakni belum diratifikasinya berbagai instrumen internasional seperti halnya ICCPPED dan OPCAT, kendati telah direkomendasikan oleh berbagai negara dalam momentum UPR. Selain itu, Indonesia pun masih mempertahankan praktik penghukuman mati. Padahal tren dunia sudah berangsur-angsur menghapuskan pidana mati dalam hukum positifnya. Begitupun dalam merespon masukan internasional terkait situasi kemanusiaan di Papua. Pemerintah masih cenderung resisten dan menolak untuk membuka kemungkinan dilakukannya investigasi independen dari pihak internasional di bumi Cendrawasih. Adapun sikap politik yang belum maksimal juga ditunjukan oleh Pemerintah Indonesia dalam merespon dan mengakhiri krisis kemanusiaan di Myanmar pasca kudeta politik oleh Junta Militer.
Atas dasar sejumlah penjabaran dan analisis di atas, dalam laporan ini kami memiliki sembilan desakan kepada Presiden Jokowi untuk melakukan berbagai hal guna memperbaiki situasi demokrasi di Indonesia. Salah satunya untuk patuh dan tegak lurus pada konstitusi dan nilai-nilai demokrasi yang berlaku. “Presiden selaku kepala negara dan pemerintahan harus berfokus pada janji-janji kampanye yang telah dibuat pada kontestasi Pemilu pada 2014 dan 2019 lalu, ketimbang melakukan manuver politik yang akhirnya hanya akan merusak demokrasi dan melanggar konstitusi,” pungkas Dimas.