Jakarta – Hari ini, bangsa Indonesia melihat perjalanan sejarah saat Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan keputusan atas gugatan batas usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden berdasarkan Pasal 169 huruf (q) UU No. 7/2017 tentang Pemilu.
Pengamat komunikasi politik dan CEO Nusakom Pratama, Dr Ari Junaedi menyatakan, hari ini perjalanan sejarah ditentukan, apakah Presiden Jokowi akan meninggalkan warisan nama baik atau tidak.
“Sebenarnya kan gugatan ini tidak elok secara hukum. Undang-undang Pemilu ini kan open legacy sistem, produk keterwakilan demokrasi dari 270 juta rakyat Indonesia yang diserahkan kepada 570 anggota DPR untuk membuat UU Pemilu. Masak mau dimentahkan oleh 9 hakim konstitusi?” kata Ari Junaedi dalam talk show Good Talk di Good Radio Jakarta 94.3 FM, Senin, 16 Oktober 2023.
Menurut Ari, patut dicurigai jika MK mengabulkan gugatan ini, maka lembaga yudisial ini berubah makna menjadi ‘Srimulat Baru Indonesia’. Apalagi jika benar keputusan yang diketuk Ketua MK Anwar Usman itu benar-benar memberi karpet merah bagi Gibran Rakabuming untuk menjadi cawapres Prabowo. Publik pun tahu, Anwar Usman merupakan adik ipar Jokowi dan juga paman Gibran.
Jika skenario busuk itu benar-benar terjadi, maka Indonesia tak lagi punya mimpi bahwa anak buruh, petani, nelayan, sopir ojol dan warga biasa lain bisa jadi presiden, sebagaimana dulu Jokowi anak tukang mebel bisa jadi presiden. “Rekayasa gamblang itu menjadi bendera setengah tiang bagi demokrasi kita,” ungkapnya.
Terkait hubungan antara Megawati dan Jokowi yang dikabarkan segera “pisah jalan”, menurut Ari, kedua tokoh itu baik-baik saja. “Meski negara ini sedang tidak baik-baik saja,” tukasnya.
Ia menggarisbawahi, Megawati masih berjalan di jalur sebenarnya, sementara Jokowi terancam masuk jurang.
Ari mengingatkan, Megawati selama ini memperlakukan Jokowi seperti anak kandung sendiri, terutama saat 2005 mengendorsenya sebagai Wali Kota Surakarta dua periode, padahal tingkat pengenalan masyarakat masih sangat rendah.
“Bu Mega sudah memberikan segalanya. Sebagai ‘suhu’ dan ‘pandito’ politik, beliau memperlakukan Jokowi yang kerap dianggap publik sebagai anak nakal, durhaka,” urainya.
Faktanya, Rakernas Projo dan jelang keputusan MK menunjukkan fakta adanya pengerahan terlalu massif segala hal untuk pencawapresan Gibran. “Kita perhatikan, apa yang diucapkan Jokowi berbeda 100 persen dengan yang terjadi di lapangan. Pada 2019 bilang anak-anaknya tak tertarik politik, tapi pada 2020 berbeda. Gibran dan Bobby maju Pilkada Solo dan Medan,” ungkapnya.
Kondisi ini menurut Ari berbeda dengan anak-anak dari presiden-presiden sebelumnya, karena kali ini tercatat ada presiden memaksakan putranya jadi cawapres.
“Apa yang dilakukan Jokowi ini jadi pelajaran agar kita menghentikan politik pencitraan. Mari kita memilih pemimpin jangan dari chasingnya, seperti turun ke got, atau bagi-bagi beras dari mobil,” jelasnya.
Pengajar di berbagai kampus itu mengingatkan, di saat bangsa ini menghadapi berbagai masalah seperti kekurangan beras, kekeringan dan suhu panas tak terkira, sebaiknya ke depan kita memilih pemimpin yang betul-betul amanah.
Ari juga menyoroti Rakernas Projo, akhir pekan lalu. Dari yang mestinya berlangsung beberapa hari menjadi beberapa jam. Sementara pesan Jokowi jelas agar tidak “grusa-grusu”, ternyata Projo langsung memberikan dukungan ke rumah Prabowo di Kertanegara, Jakarta Selatan.
“Jadi, sebenarnya Projo mengikuti arahan Jokowi atau tidak? Saya melihat justru gerbong Projo lebih besar itu yang mendukung Ganjar Pranowo, sementara yang kemarin raker itu hanya segelintir orang menamakan Projo. Benar-benar pertanyaan, acara ini settingan atau tidak?” pungkasnya