Jakarta – Perjuangan Reformasi 1998 yang dilakukan dengan darah dan banyak nyawa rakyat tak boleh dikhianati. Salah satu nilai reformasi yang melahirkan harapan bahwa siapa saja bisa menjadi pemimpin bangsa harus terus dijaga. Bahwa siapa saja bisa jadi Presiden Indonesia, mau anak petani, nelayan, tukang ojol, tak harus dari anaknya presiden.
Pesan itu disampaikan pakar komunikasi politik dan CEO Nusakom Pratama Dr Ari Junaedi dalam Dialog Politik Elshinta Radio, Minggu, 15 Oktober 2023.
“Kita hanya mengingatkan praktik demokrasi itu dilakukan untuk tercapainya NKRI yang adil, makmur, dan sejahtera. Jangan hanya memakai slogan ‘Indonesia Maju’, tapi majunya hanya di sekitar orang dekatnya,” kata Ari.
Bagi Ari Junaedi, gonjang-ganjing yang terjadi jelang keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan persyaratan usia minimal pencalonan capres-cawapres dalam UU No. 7/2007 justru menunjukkan ujian loyalitas dan komitmen seorang kader terhadap partai politiknya.
“Saya kira PDI Perjuangan tetap baik-baik saja, ya. PDI Perjuangan melihat ini sebagai berkah politik, blessing in disguise. Politik adalah komitmen bagaimana menempuh jalan ketegasan, dan jalan sikap,” ungkapnya.
Dari kasus inilah, PDI Perjuangan justru mendapat pencerahan bahwa jadi kader politik tak hanya di masa jaya, tapi juga di masa sulit.
“Ini pelajaran penting bagi sebuah partai melihat komitmen dan loyalitas seorang kader. Kejadian ini justru makin mudah bagi Megawati dan ketua umum parpol pengusung untuk menentukan siapa pendamping Ganjar Pranowo,” urianya.
Pengajar ilmu komunikasi di berbagai kampus itu mengutip teori dramaturgi dari tokoh psikologi politik Amerika, Erving Goffman, bahwa apa yang ditunjukkan di panggung depa kerap berbeda dengan yang ada panggung belakang.
“Rakyat harus cerdas melihat semua yang terjadi, termasuk di Rakernas Projo kemarin. Dari awalnya mendengar pidato Jokowi agar tidak grusa-grusu, beberapa saat kemudian sudah geser memberi dukungan ke rumah Prabowo,” tukasnya sembari menunjukkan keheranan bagaimana kelompok relawan bisa mendegradasi peran parpol dalam pencalonan capres-cawapres.
Ari Junaedi menekankan, saat ini kita menunggu bagaimana keputusan MK pada Senin, 16 Oktober 2023. Apakah MK benar-benar menjadi garda penjaga konstitusi atau justru menjadi garda penjaga keluarga.
“Besok kita akan tahu, yang namanya kontestasi itu memperjuangkan rakyat, atau memperjuangkan kelompok dan keluarga?” tanya Ari.
Ia menambahkan, jika saja MK mengabulkan gugatan terkait batas usia minimal capres-cawapres dan langsung diberlakukan pada Pemilu 2024, hal itu sama saja dengan mengibarkan bendera hitam bagi demokrasi.
“Kalau itu benar-benar tejadi, kita harus menetapkan besok sebagai ‘Hari Muak Nasional’,” tegas Ari.
Untuk itulah, rakyat harus berpikir cerdas. Sebaiknya masyarakat jangan tertipu chasing politik di berbagai media, tetapi sebaiknya bersama-sama mencermati apa yang sebenarnya terjadi di balik panggung gugatan MK ini.
“Kita harus cek baik-baik. Siapa Ketua MK, siapa pemohon gugatan itu, maka akan terlihat dagelan politik, bahwa gugatan itu tidak murni mencerminkan aspirasi rakyat, tapi lebih kepada pemaksaan kehendak,” urainya.
Pendapat senada disampaikan pegiat media sosial Mazdjo Pray yang gelisah karena selama 10 tahun mengawal Jokowi tanpa pamrih kini harus berada di barisan paling depan untuk mengingatkan Jokowi dengan cara yang paling sopan terkait etika politik.
“Kami ingin menyelamatkan Pak Jokowi dari kekecewaan jutaan orang yang selama ini ada di belakangnya,” kata pendiri Ganjarist ini.
Ia menekankan, tak ubahnya Amerika Serikat, negara kita memiliki ‘Indonesian Dream’. “Kehadiran Jokowi sebagai presiden menunjukkan bahwa anak siapa saja bisa bermimpi jadi presiden. Sayang kalau impian itu kemudian dirusak sendiri,” ucapnya.
Mazdjo mengingatkan, pemimpin itu diharamkan untuk berbuat amoral. Apalagi sebagai pejabat negara, negara ini harus diselenggarakan dengan moralitas.
“Tindakan amoral akan membawa kehancuran sebuah bangsa,” pungkasnya.