Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terus menyuarakan kegelisahan di masyarakat mengenai fenomena kasus perundungan atau bullying, terutama yang terjadi lingkungan sekolah. Desakan DPR pun disebut harus segera direspons cepat Pemerintah.
Hal tersebut disampaikan oleh Pakar Komunikasi Politik Universitas Indonesia (UI), Ari Juanedi. Ia menyebut, DPR adalah representasi rakyat yang menyuarakan aspirasi publik sehingga harus segera ditindaklanjuti.
“Saya memberi poin lebih dari suara-suara di DPR yang meminta Pemerintah segera menarik rem darurat atas terjadinya fenomena perundungan yang demikian masif terjadi di banyak tempat. Sehingga perlu ditanggapi dengan proaktif,” kata Ari Junaedi, Jumat (6/10/2023).
Dalam beberapa kesempatan, Ketua DPR RI Puan Maharani menyuarakan tentang persoalan bullying di Tanah Air yang semakin memprihatinkan. Bahkan Puan meminta Pemerintah menyiapkan penanganan khusus terkait permasalahan perundungan yang melibatkan anak.
Ari menilai, Pemerintah seharusnya menaruh perhatian lebih atas atensi orang nomor satu di dewan legislatif tersebut karena sudah disuarakan berkali-kali.
“Jika seorang Puan Maharani sudah bicara hal ini, harus diakui kondisi negeri ini memang sedang tidak baik-baik saja terutama dalam hal tindak perundungan,” tuturnya.
Ari pun menilai, kepemimpinan DPR yang saat ini dipegang Puan Maharani selalu lantang saat menyuarakan masalah-masalah berkaitan dengan perempuan dan anak. Ia mengatakan Puan paham betul mengenai peran perempuan dan anak yang merupakan kunci terciptanya Generasi Emas 2045.
“Kepemimpinan DPR yang saat ini dipegang Puan Maharani menjadikan aroma keberpihakkan parlemen terhadap masalah-masalah domestik perempuan dan anak. Perhatian DPR pada isu peremuan dan anak sangat menonjol dalam lima tahu terakhir ini,” jelas Ari.
Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama ini juga memaparkan, cara komunikasi DPR dengan terus menyuarakan kasus perundungan merupakan bukti komitmen dewan dalam upaya menanamkan unsur budi pekerti pada diri anak muda. Apalagi di era keterbukaan informasi, Ari menilai unsur ketimuran bangsa Indonesia yang mengedepankan sopan santun dan saling menghargai berangsur mulai luntur.
“Jika media sosial dengan segala nilai positif dan negatifnya demikian mudah diterima oleh anak didik sementara dunia pendidikan hanya memberikan ruang yang minimal bagi pengembangan budi pekerti dan kesehatan mental maka kehancuran sembuah bangsa melalui generasi mudanya tinggal tunggu waktu saja,” paparnya.
Mengenai persoalan bullying, Puan memang pernah menyampaikan pentingnya dihadirkan pendidikan karakter serta pendidikan moral dan budi pekerti di bangku sekolah. Mengingat, kemajuan teknologi banyak berdampak pada nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, Ari berharap Pemerintah dapat segera bertindak karena kecepatan pola ‘meniru’ yang dilakukan anak didik melalui media sosial sangat cepat. Terlebih, tidak adanya aturan yang rigid dari Pemerintah terkait pembatasan usia dalam mengakses media sosial menjadi penyumbang munculnya hal-hal negatif pada anak.
“Pola pendidikan kita masih menitikberatkan kepada capaian nilai-nilai akademis dan mengabaikan tumbuh kembang anak secara mental. Pendidikan budi pekerti dan moral tidak menjadi fokus. Akibatnya, banyak anak terpengaruh sisi buruk dari media sosial, yang batasannya sampai saat ini belum jelas,” terang Ari.
Lebih lanjut, Ari mempertanyakan efektivitas dari ‘Kurikulum Merdeka’ yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam mencegah aksi kekerasan di institusi pendidikan.
“Kurikulum tersebut belum menanamkan nilai moral untuk menghargai sesama. Maka saya sependapat dengan yang diungkap DPR, bahwa perlu adanya mata pelajaran yang mengedepankan ilmu komunikasi, dalam kaitannya dengan nilai-nilai moral dan budi pekerti dalam kehidupan sehari-hari,” sebutnya.
“Jadi arah komunikasi DPR yang terus menyuarakan tentang isu pendidikan karakter pada anak ini sudah tepat,” lanjut Ari.
Di sisi lain, peran DPR dinilai begitu krusial terutama dalam hal legislasi untuk merancang produk-produk hukum yang memperkuat upaya terjadinya perundungan di lingkungan Pendidikan. Ari menekankan momentum ini tidak boleh disia-siakan demi terwujudnya lingkungan Pendidikan yang ramah dengan pengembangan kecerdasan dan tumbuh kembang anak didik berdasarkan nilai-nilai budi pekerti luhur.
“Desakan parlemen dalam hal ini DPR terhadap Pemerintah agar mereformasi ekosistem pendidikan menjadi sebuah keharusan. Selama ini, Kemendikbudristek lebih menitikberatkan kepada aspek akademis dan melalaikan aspek pekerti serta moral,” ungkap pengajar Program Pascasarjana Universitas Islam Bandung (Unisba) itu.
Ke depannya, Ari berharap DPR terus mengawasi program dan aksi kementerian-kementerian seperti Kemendikbud Ristek, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Kementerian Kesehatan, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana, Komnas Perlindungan Anak serta institusi lain untuk peduli dengan perkembangan mental dan perlindungan anak didik. Khususnya dalam hal mengantisipasi terjadinya kekerasan fisik dan verbal.
“Semakin marak dan masifnya tindakan perundungan di semua tingkatan pendidikan, tidak ayal kondisi ini sudah pantas dikategorikan dalam ‘siaga satu’. Tidak hanya berujung kematian, aksi bullying yang terjadi sekarang ini sudah berdampak pada kecacatan fisik terhadap korban,” ucap Ari.
Dalam kesempatan sebelumnya, Ketua DPR Puan Maharani mendorong Pemerintah untuk mencari solusi dari maraknya kasus perundungan atau bullying di Indonesia, terutama perundungan anak.
“Banyaknya kasus bullying membuat Indonesia saat ini berada dalam situasi darurat perundungan. Negara tidak boleh membiarkan kasus bullying terus mengalir tanpa ada solusi yang komprehensif, khususnya untuk perundungan yang melibatkan anak sebagai korban dan pelaku,” kata Puan, Jumat (29/9).
Mantan Menko PMK ini menekankan pentingnya sekolah mengedepankan pendidikan karakter, untuk membangun mental yang positif bagi para siswa. Lebih lanjut Puan mendorong Pemerintah melalui Kemendikbudristek untuk membuat kurikulum membangun karakter siswa yang positif.
“Penting sekali agar pendidikan budi pekerti kembali masuk dalam kurikulum di sekolah, karena menjadi modal penanaman akhlak untuk anak. Pendidikan bukan hanya tentang prestasi akademik, tetapi juga tentang membentuk karakter dan mental yang kuat pada para siswa,” urainya.
Ditambahkan Puan, pendidikan kewarganegaraan siswa di sekolah perlu dilengkapi dengan adanya pendidikan moral dan budi pekerti bagi anak. Ia menyinggung soal banyaknya kasus di sekolah di mana pembelajaan saat ini lebih banyak berfokus pada unsur akademik semata.
“Sekolah harus menjadi wahana untuk mengembangkan individu yang bertanggung jawab, berempati, dan berperilaku baik,” tegas Puan.
Puan menilai, perlu ada penanganan khusus dari kasus bullying anak yang melibatkan berbagai instansi. Mulai dari Kemendikbud, Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Polri, hingga lembaga kemasyarakatan yang fokus pada perlindungan anak.
“Karena masalah bullying banyak sekali irisannya. Bagaimana diperlukan dukungan dari Pemerintah untuk menciptakan ketahanan keluarga untuk memastikan anak dapat bertumbuh dengan fisik dan mental yang baik,” sebut cucu Bung Karno itu.
“Penanganan lebih khusus juga menjadi penting agar pengusutan kasus bullying anak dapat berjalan dengan optimal. Karena dalam perundungan anak, pelaku dan korban sama-sama masih di bawah umur sehingga membutuhkan perlakuan dan pendampingan khusus, termasuk pada sistem peradilannya,” sambungnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI Dede Yusuf menekankan pentingnya pelibatan aparat penegak hukum seperti unsur Babinsa dari TNI dan Bhabinkamtibmas dari Polri sebagai pendamping guru BP di sekolah. Sebab Babinsa dan Bhabinkamtibmas merupakan unsur aparat yang bersentuhan langsung dengan pembinaan terhadap masyarakat, dan sebagai aparat pastinya memiliki ketegasan yang lebih.
Pembina teritorial seperti Babinsa dan Bhabinkamtibmas dapat mengatasi berbagai bentuk ‘kenakalan’ siswa dengan memberikan disiplin edukatif. Namun pelibatan aparat teritorial untuk membina siswa nakal harus diatur dalam beleid yang tegas, beserta bentuk disiplin edukatif apa saja yang bisa dilakukan berdasarkan kategori kenalakan yang dilakukan anak.
Dede menilai peran guru saat ini telah berubah menyusul perkembangan zaman. Tidak seperti masa lampau di mana guru bisa tegas memberi sanksi kepada murid, guru saat ini hanya bisa berfokus pada pengajaran akademik dan konseling.
“Guru atau kepala sekolah umumnya takut melakukan pendisiplinan karena khawatir diadukan ke penegak hukum. Dan guru tidak pernah belajar cara melakukan sanksi fisik yang benar,” ucap Dede.
“Untuk mengatasi pelanggaran di sekolah, harus ada guru BP. Dulu guru BP ditakuti. Jadi sekarang bisa dengan bantuan Babinsa atau Polisi. Supaya nanti kalau guru melempar pakai kapur, besoknya tidak langsung dipanggil Polisi,” sambung legislator dari Dapil Jawa Barat II ini.
Dede juga mendorong Kemendikbudristek untuk menghidupkan kembali mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) bagi semua lapisan pendidikan mulai dari SD, SMP, SMA dan Perguruan Tinggi. Hal itu bertujuan untuk meningkatkan akhlak dan budi pekerti pelajar yang tengah merosot akibat banyaknya kasus bullying dan kekerasan.
“Menurut saya kondisi ini sudah darurat moral, bukan lagi krisis moral. Karena pendidikan bagaimana menghargai orang lain, bagaimana menolong orang lain itu kan tidak ada pendidikannya,” kata Dede.
Selain itu, mantan Wagub Jabar itu juga menyarankan untuk dibentuknya Satuan Tugas (Satgas) di tiap-tiap sekolah, untuk mengantisipasi adanya perundungan dan kekerasan. Dede menyebut, Satgas ini nantinya berisi para guru, orang tua dan anggota Babinsa atau Bhabinkamtibmas.
“Satgas ini sangat penting untuk menanamkan pendidikan karakter yang dibutuhkan bagi anak-anak dalam menjunjung tinggi budi pekerti luhur. Karena Satgas ini melibatkan seluruh aspek masyarakat dan penegak hukum, untuk mengawasi, mendidik dan membina anak,” tutupnya.