Jakarta – Seiring meningkatnya populasi dan berkurangnya ruang terbuka hijau, kualitas udara di wilayah perkotaan terus mengalami penurunan. Berdasarkan situs pemantau kualitas udara, IQAir, polusi udara di Jakarta berada pada angka 209 dengan tingkat konsentrasi polutan PM 2,5 sebesar 134 mikrogram per meter kubik. Angka ini 26,8 kali lebih tinggi nilai panduan kualitas udara tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Sebenarnya tidak hanya di Jakarta, kondisi serupa juga terjadi di banyak kota besar lain. Ironisnya, meski tingkat polui terus naik, upaya perbaikan kualita sudara justru masih sangat minim. Padahal paparan polusi udara dalam jangka panjang dapat meningkatkan risiko penyakit jantung, termasuk serangan jantung dan stroke.
Dokter Spesialis Paru dan Pernapasan dari Eka Hospital BSD, Astri Indah Prameswari, mengatakan bahwa partikel-partikel kecil dalam udara yang tercemar dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru. Bahkan memperparah penyakit pernapasan seperti asma, bronkitis, dan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
“Tingkat polusi udara yang tinggi bisa memicu penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Orang yang terkena ISPA baisanya akan mengalami gejala batuk kering atau batuk, hidung tersumbat, pilek, sakit tenggorokan, nyeri kepala atau pusing, sesak nafas, dan demam. Jika dibiarkan, bisa berujung pada penyakit yang lebih parah,” urainya.
Guna meminimalisir dampak buruk dari polusi udara, Astri menyarankan penggunaan masker ketika bepergian ke luar rumah.
“Ganti masker secara berkala jika sudah terlalu lembab, basah, atau kotor,” katanya.
Selain itu, ia juga menyarakan penerapan cara hidup bersih. Semisal dengan mencuci tangan setelah beraktivitas di luar ruangan, karena kuman dan bakteri mudah menempel pada tangan.
“Biasakanlah membawa hand sanitizer dan aplikasikan jika kita sering menyentuh fasilitas umum. Segera cuci pakaian setelah aktivitas dengan mobilitas tinggi. Bersihkan rumah secara rutin, minimal dua kali sehari agar terhindar dari tumpukan debu akibat polusi,” pungkasnya.