Jakarta – Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mewacanakan pengenaan bea masuk barang impor asal China sebesar 100-200 persen. Hal itu untuk melindungi sektor industri dan UMKM dalam negeri yang terancam, akibat membanjirnya barang impor asal China ke pasar domestik.
Meski baru sebatas wacana, banyak pihak menyebut hal itu bukanlah solusi terbaik. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal, mengilai situasi saat ini sebagai konsekuensi kesepakatan dagang dalam Asean China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan adanya ACFTA, produk-produk asal China membanjiri pasar di ASEAN dengan tarif bea masuk yang sangat rendah.
“Indonesia terikat ACFTA yang kemudian menyebabkan hampir 10 tahun terakhir (pasar dalam negeri) kebanjiran produk China. Bahkan sebagian besar (bea masuknya) sudah hampir 0 persen,” ujar Faisal.
Sekalipun menganggap pengenaan bea masuk yang tinggi akan melindungi industri dan UMKM dalam negeri, Faisal menilai wacana itu terlalu berlebihan. Karena jika benar-benar diterapkan, pasti akan menyebabkan reaksi keras dari pihak China.
“Ada kemungkinan China bakal melakukan retaliasi. Sama seperti terhadap Uni Eropa yang baru-baru ini memasang tarif tinggi untuk produk EV (electric vehicle) dari China ke Eropa,” ucapnya.
Faisal juga mempertanyakan, sejauh mana penerapan bea masuk tinggi itu nantinya. Apakah hanya untuk jangka waktu tertentu, ataukah untuk selamanya. Manapun pilihannya, Faisal berharap pemerintah mempertimbangkan semua konsekuensi regulasi sebelum memberlakukannya.