Amerika Serikat – Malaria merupakan salah satu penyakit tertua di dunia. Setiap tahun, setidaknya sekitar 600.000 orang meninggal dunia akibat malaria. Meski begitu, menelusuri jejak penyebaran penyakit ini tidaklah mudah. Penyakit ini menyebabkan gejala-geaja yang umum ditemuka pada penyakit lain, tetapi ketika memasuki tahap kritis yang mematikan, tidak meninggalkan bekas fisik.
Selama beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi telah memungkinkan para ilmuwan mengambil DNA patogen dari kerangka manusia yang berusia ribuan tahun. Jejak patogen yang menyerang darah seseorang, termasuk parasit yang disebarkan nyamuk penyebab malaria, ternyata tetap menempel di tulang dan gigi seseorang setelah kematian. Dengan cara yang sama, kini peneliti dapat menyelidiki epidemiologi dua parasit penyebab malaria, yaitu Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax. Melalui penelitian DNA, ilmuwan dapat melacak bagaimana parasit ini menyebar ke seluruh dunia.
“Dari perspektif biologi evolusi, malaria adalah salah satu patogen yang paling menarik untuk dicermati karena dampaknya yang besar terhadap genom manusia,” kata Megan Michel, peneliti dari Universitas Harvard.
Menariknya, peneliti mendapati adanya bukti eksistensi malaria di daerah beriklim dingin. Hal ini mematahkan anggapan bahwa malaria adalah penyakit tropis. Kerangka berusia 2.800 tahun dari Chokhopani, sebuah situs dataran tinggi di Himalaya, menunjukkan tanda-tanda infeksi P. falciparum – sebuah temuan yang membingungkan karena Chokhopani terlalu tinggi, dingin dan kering bagi nyamuk pembawa malaria untuk bertahan hidup. Situasi yang sama terjadi saat para ilmuwan meneliti DNA seseorang yang tinggal di Laguna de los Cóndores, dataran tinggi Andes, Peru, sekitar 500 tahun lalu.
“Kita dapat menggunakan data ini untuk memahami tidak hanya patologinya, tetapi juga jalur evolusi malaria, dan bahkan mungkin cara baru untuk mengalahkannya,” tandasnya.