Oleh: Tri Ambarwatie – Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) Jawa Timur
Bulan Mei tahun 2024 memang telah berlalu namun ada berita mengejutkan di bulan Mei yang sudah membuat masyarakat tercengang. Yakni seorang pemuda berusia 29 tahun, berinsial AP, konsisten melakukan teror terhadap seorang perempuan yang ia klaim sebagai cinta matinya, sejak keduanya sama-sama bersekolah di SMP yang sama.
Perilaku AP selama 10 tahun terakhir kepada temannya semasa duduk di bangku SMP di Surabaya, sungguh membuat siapa pun geleng-geleng kepala. Betapa tidak, AP konsisten melakukan teror kepada N, berdalih atas nama cinta. Kebaikan hati N kepada AP saat keduanya masih bersekolah di bangku SMP ditanggapi berbeda oleh AP. N yang pernah memberikan uang sebesar lima ribu rupiah kepada AP karena mengetahui AP tidak memiliki uang untuk jajan, dimaknai AP sebagai rasa sayang N kepadanya.
Saat itu AP hanya memendam perasaannya kepada N, namun sejak tahun 2014 saat keduanya duduk di bangku kelas dua SMA hingga Mei 2024, AP terus meneror N dengan beragam cara. Mulai dari mendatangi rumah N, mengirimkan barang berupa hadiah, mengancam teman lelaki N, hingga yang membuat N muak adalah ribuan chat dari ratusan akun yang dibuat AP di media sosial. AP ternyata memiliki 420 akun media sosial yang ia gunakan untuk memantau langkah dan gerak gerik N.
Puncaknya adalah saat AP mengirimkan foto alat kelamin ke media sosial N, yang akhirnya membuat N menceritakan kisah hidupnya yang kelam karena obsesi seseorang, di akun media sosialnya, hingga ia mendapatkan dukungan dari warga dunia maya untuk melaporkan kasus yang dialaminya ke polisi.
Kini AP sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur dan terancam hukuman selama 6 tahun di penjara.
Kasus yang dialami N menunjukkan bahwa Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) nyata dialami kaum perempuan. Ada 9 jenis KBGO seperti yang disampaikan Jakarta Feminist, satu diantaranya adalah pelecehan online, mutlak seperti yang dialami oleh N. Selain itu ada peretasan, impersonasi, rekrutmen online, stalking secara online, distribusi jahat untuk merusak reputasi, penyebaran konten intim non-konsensual, pengiriman konten intim tanpa konsen serta morphing.
Pelecehan online seperti yang dialami N, merupakan bentuk KBGO yang dapat dipidana, yakni menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun dalam kasus ini, Polda Jawa Timur menjerat AP dengan UU ITE, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan UU Pornografi. Dengan pasal berlapis ini, AP terancam hukuman enam tahun bui dan dengan denda Rp 1 miliar. Menurut dokumen yang disampaikan oleh SAFEnet, bentuk KBGO yang dapat dipidana berdasarkan Undang –Undang No. 19 Tahun 2016 tentang ITE, diantaranya penguntitan online.
Tindakan korban N yang menyimpan bukti-bukti chat teror yang dikirim AP, menjadi poin penting penyelesaian kasus KBGO. Menurut Jakarta Feminist, jika menjadi korban Kekerasan Seksual, maka korban hendaknya mendokumentasikan bukti-bukti, ceritakan pada orang yang dipercayai, membangun sistem dukungan, jauhi pelaku, cari bantuan dan laporkan pelaku.
Rupanya, langkah N untuk bersuara di media sosial, menjadi langkah awal penyelesaian kasus KBGO yang dialaminya. Ditambah dengan dukungan warga dunia maya agar N melapor ke polisi, membuka jalan keluar bagi permasalahan yang dialami N selama 10 tahun terakhir.
Bayangkan penderitaan dan ketidaknyamanan yang dialami N selama 10 tahun kehidupan remaja, pra-dewasa hingga dewasa, yang harus dilaluinya. Meski N mengaku sebagai pribadi yang ekstrovert, namun teror yang diberikan AP kepadanya hingga selama 10 tahun, sempat membuatnya stress meski tidak sampai pada depresi.
Masih menurut Jakarta Feminist, dampak Kekerasan Berbasis Gender dan Seksualitas,di antaranya membuat korban menjadi tidak percaya diri atau self-esteem rendah, kehilangan kemandirian, depresi sampai pada trauma berat, gangguan mental serta PTSD (post traumatic stress disorder) bahkan bisa berujung pada kematian.
Di luar sana pasti masih banyak korban kekerasan seksual yang mungkin tidak seberani N yang memilih menyuarakan hal-hal yang dialaminya. Karena itu literasi terkait bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap gender dan seksualitas harus terus digaungkan oleh semua pihak baik pemerintah, media dan masyarakat sipil. Agar orang-orang yang rentan menjadi korban kekerasan seksual dapat memahami kondisi yang dialaminya dan dimudahkan untuk dapat melapor ke pihak yang berwenang menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Dukungan juga bisa diberikan oleh masyarakat sipil, dalam hal ini warga dunia maya atau netizen jika ada korban yang menyuarakan kekerasan seksual yang dialaminya.