Jakarta – Bila banyak orang mengatakan kondisi Indonesia sedang baik-baik saja, ekonom dari Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, justru menyatakan sebaliknya. Ia menilai Indonesia sekarang sedang dalam krisis multi dimensi, terutama di bidang ekonomi.
“Indonesia saat ini sedang di titik nadir, dan perlu upaya yang luar biasa serius untuk mengeluarkan Indonesia dari titik nadir,” katanya saat menjadi narasumber dalam diskusi bertajuk ‘Koalisi Besar Bisa Menuju Damagog Otoriter’ secara virtual pada Sabtu, 18 Mei 2024.
Ia kemudian menjelaskan tiga hal yang menjadi dasar penilaiannya.
Pertama, Indonesia terlalu bergantung dengan sumber daya alam. Sementara negara lain seperti Singapura, Malaysia, Vietnam dan Kamboja mulai mendiversifikasi ekspor bahkan mengekspor produk-produk canggih.
“Kita justru berjalan mundur, lebih banyak memproduksi barang-barang mentah, komoditas, sumber daya alam. 38 persen ekspor kita itu enam komoditas, migas (minyak bumi dan gas), CPO (minyak sawit mentah), batu bara, tembaga, dan nikel,” jelasnya.
Kedua, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2024 adalah 5,1 persen. Meski termasuk tinggi, tapi itu disebabkan adanya faktor Ramadan dan pemilu. Di sisi lain, ekonomi Indonesia tumbuh relatif bagus karena ada injeksi steroid. Steroid itu adalah utang.
“Kita ini seperti anak kos-kosan yang hidup mewah, tapi setiap hari kita kasbon, berutang untuk mempertahankan hidup mewah. Hal ini tidak bisa berlanjut dalam waktu yang lama,” jelasnya.
Ketiga, dari Indonesia semakin tergantung pada utang. Bahkan 14 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dialaokasikan untuk membayar utang.
“Pengeluaran kita untuk membayar bunga itu dua kali lebih besar daripada capital expenditure (belanja modal), dan persentase untuk membayar bunga ini akan semakin lama semakin meningkat,” imbuhnya.
Keempat, rupiah selalu dinarasikan kuat oleh pemerintah. Faktanya, nilai tukar rupiah itu terus melemah. Bahkan dalam satu tahun terakhir, rupiah melemah terhadap 80 persen mata uang dunia.