Jakarta – Masyarakat tengah dihebohkan dengan pemberitaan biaya kuliah yang tinggi. Bahkan Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) ini menuai aksi protes dari para mahasiswa.
Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih pro rakyat.
Diketahui, belakangan ini mahasiswa Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Universitas Negeri Riau (Unri) hingga Universitas Sumatera Utara (USU) Medan melakukan protes terhadap kenaikan UKT.
Para mahasiswa Unsoed misalnya memprotes lantaran ada kenaikan uang kuliah hingga lima kali lipat. Kasus lainnya terjadi di Universitas Negeri Riau (Unri) ketika seorang mahasiswa bernama Khariq Anhar memprotes ketentuan Iuran Pembangunan Institusi (IPI) dalam UKT yang harus dibayar mahasiswa Unri.
Anehnya, porsi anggaran pendidikan yang tinggi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) justru semakin membuat biaya UKT kian tak terjangkau.
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menjelaskan bahwa Indonesia telah menerapkan mandatory spending sebesar 20 persen dari APBN untuk anggaran pendidikan. Menurutnya, tahun ini saja sebesar Rp665 triliun dari APBN dialokasikan untuk membiayai pendidikan.
“Maka agak aneh ketika komponen biaya pendidikan dari peserta didik kian hari meroket, padahal alokasi anggaran pendidikan dari APBN juga relatif cukup besar,” ujar Politisi Fraksi PKB ini.
Legislator Dapil Jawa Barat ini menilai bahwa pandangan yang menegaskan bahwa Pemerintah lepas tangan dalam urusan pendidikan tinggi kian menguat. Meskipun, pendidikan tinggi bersifat tersier, namun saat ini urgen dibutuhkan, mengingat Indonesia mempunyai target mewujudkan Indonesia Emas di 2045.
“Mayoritas mahasiswa saat berdialog dengan kami punya pandangan jika pemerintah lepas tangan untuk layanan pendidikan tinggi. Kami tidak ingin pandangan tersebut menjadi persepsi umum publik, karena memang anggaran pendidikan kita dari APBN sebenarnya relatif besar,” kata Huda.
Mirisnya lagi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis jumlah generasi muda usia 15-24 tahun atau Gen Z di Indonesia yang tidak beraktivitas produktif dalam artian tidak bekerja, tidak sedang sekolah, dan tidak sedang mengikuti pelatihan (not in employment, education, and training/NEET) hampir 10 juta orang.
Gen Z merupakan generasi yang lahir antara tahun 1997-2012 atau berusia 12-27 tahun.
Data yang dipublikasikan BPS, secara lebih rinci jumlah generasi muda yang tergolong Gen Z tidak bekerja, tidak sedang dalam pendidikan, dan tidak menjalani pelatihan itu mencapai 9.896.019 orang.
Hal ini tentunya menjadi tantangan bagi pemerintah Indonesia yang tengah menggaungkan Indonesia Emas pada 2045. Jika kedua kondisi di atas tidak menjadi konsen pemerintah ke depan, apakah bisa menyongsong Indonesia Emas? Alih-alih menggapai Indonesia Emas, justru kondisi tersebut menampilkan Indonesia (C)Emas.