China – Juru bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, memastikan perdagangan antara Rusia dengan China akan terus dilakukan dengan menggunakan mata uang masing-masing negara. Ini merupakan bagian dari program dedolarisasi guna mengurangi ketergantungan terhadap mata uang dolar Amerika Serikat (USD).
“Lebih dari 90% perdagangan antara Rusia dan China sekarang sudah dilakukan dalam yuan, dengan sebagian besar dalam yuan dan sebagian kecil dalam rubel. Proses dedolarisasi ini akan terus berlanjut,” katanya di sela-sela Pameran Rusia-China ke-VIII di Harbin, China.
Kerjasaman antara Rusia dengan China dalam beberapa tahun terakhir mengalami peningkatan. Hal itu nampak salah satunya dari makin berkembangnya daerah-daerah di perbatasan kedua negara. Seiring meningkatnya penggunaan rubel (mata uang Rusia) dan yuan (mata uang China) dalam berbagai transaksi lintas negara, permintaan USD pun terus menurun. Bukna hanya Rusia dan China, semua negara anggota BRICS juga berencana menjalankan program dedolarisasi mulai tahun 2025 mendatang.
Dana Moneter Internasional (IMF) mengakui program dedolarisasi yang dijalankan BRICS menempatkan USD dalam bahaya. Wakil Direktur Pelaksana IMF, Gita Gopinath, dalam makalahnya yang berjudul “Dampak Geopolitik Terhadap Perdagangan Internasional dan Dolar”, menyatakan BRICS telah menciptakan pergeseran dalam kebijakan ekonomi global.
Dampaknya saat ini mungkin belum terlalu terasa, karena USD masih mendominasi perdagangan global. Namun, jika BRICS yang mendominasi sektor minyak dunia nanti menerapkan perdagangan dengan mata uang lokal, maka USD dipastikan bakal melemah. Kekhawatiran itu sangat beralasan, mengingat mayoritas negara-negara baru yang bergabung dengan BRICS tahun ini adalah produsen dang pengekspor minyak. Bahkan bila Arab Saudi resmi bergabung, BRICS baka mendominasi perdagangan sektor minyak global.