Jakarta – Ahli kuliner Febriyanto Rachmat mengungkapkan bahwa banyak kuliner legendaris di Jakarta dan sekitarnya yang perlu segera dilestarikan mengingat biasanya dikelola secara turun-temurun yang dikhawatirkan sewaktu-waktu tidak berkelanjutan.
“Biasanya kuliner-kuliner yang legenda itu sudah dikelola generasi ke sekian dan mayoritas belum berani untuk membuka cabang. Tugas kita untuk membuka pasar,” kata Febriyanto saat dihubungi di Jakarta, Jumat.
Menurut Febriyanto, makanan dan minuman ini biasanya merupakan kuliner autentik di wilayahnya. Bahkan beberapa pengelolaannya masih tradisional seperti cara transaksi yang masih tunai belum tersentuh pembayaran digital.
Febriyanto mengingatkan agar kuliner nusantara ini terus dilestarikan karena kalau tidak ada yang peduli diyakini dalam 20 tahun ke depan mereka akan tenggelam dengan kuliner moderen yang juga kian marak di Jakarta.
“Saya yakin generasi muda sekarang ada yang tidak mengenal apa itu lodeh serta penyajiannya seperti apa,” kata CEO PT Samsaka Lestari Rasa itu.
Tak hanya itu, untuk kemasan biasanya, pengusaha kuliner tradisional juga belum mengenal bahan-bahan yang ramah lingkungan dan aman (food grade). “Beberapa bahkan masih menggunakan kresek yang bukan diperuntukkan bagi makanan dan minuman,” kata dia.
Menurut dia, untuk mengajak pelaku kuliner legenda agar berani berkembang dengan mengajak mengikuti festival kuliner.
Terkait hal itu, Febriyanto bersama sejumlah institusi termasuk perbankan menyelenggarakan serangkaian festival kuliner termasuk di Jakarta yang akan hadir di Parkir Timur Senayan Gelora Bung Karno (GBK). “Kegiatannya pada 25 September hingga 6 Oktober bertepatan dengan HUT GBK,” kata dia.
Festival kuliner bertajuk “Tjap Legende” bertujuan untuk mengajak pengusaha kuliner yang selama ini sudah menjadi legenda di kalangan masyarakat untuk ikut serta. “Kami biasanya mengajak kepada pengusaha-pengusaha tersebut untuk bergabung. Ayo mulai keluar,” kata dia.
Meski demikian tidak seluruh peserta kuliner tradisional ini bisa ditampung, tetapi harus melalui proses kurasi sebelumnya.
Peserta juga tidak dipungut bayaran dan sifatnya “revenue sharing” (berbagi pendapatan). Bahkan penyelenggara berkewajiban menampung pekerja dan juru masak termasuk gerai untuk festival.
Sesuai tema, peserta yang ikut di dalam festival juga dari kuliner legenda seperti Toko Oen Malang (1930), Gudeg Yu Djum (1950), Sate Buntel H. Bejo (1971), Bebek Sinjay (2003) dan Nasi Krawu Buk Tiban (1979). Lalu Ketan Susu Kemayoran (1958), Kopi Es Takie (1927), Soto Betawi H. Agus Barito (1961) dan masih banyak lainnya.
Namun peserta juga tidak dibatasi yang legendaris saja. Pengusaha baru sepanjang selama ini bergerak di bidang kuliner tradisional dan autentik juga bisa bergabung setelah sebelumnya lolos uji dan proses kurasi.
Festival “Tjap Legende”, tidak hanya di Jakarta saja, tetapi juga hadir di Bandung (D.Botanica Mall 22 Mei-2 Juni), Semarang (BSB Uptown Mall 5-16 Juni), Solo (The Park 19-30 Juni), Yogyakarta (Sleman City Hall 3-14 Juli) dan Balikpapan (Pentacity Mall 24 Juli-4 Agustus).
Selanjutnya di Surabaya (Grand City 21 Agustus-1 September), Bali (Discovery Mall 30 Oktober-10 November) dan berakhir di Mataram (Lombok Epicentrum Mall 14 November-1 Desember).
“Jadi warga dari daerah lain di nusantara tidak perlu ke Jakarta, tinggal lihat jadwalnya untuk berkunjung ke lokasi yang paling dekat,” kata dia.