Oleh: Garda Maharsi, Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pemerhati Isu Sosial dan Politik
Praktik politik kadang seperti fiksi. Tak jelas siapa pemeran utama, plot yang meloncat, ending terlalu cepat, dan kebingungan tanpa akhir cerita.
37 derajat. Panas mengepung. Dakar, kota majemuk di sisi timur Senegal penuh massa berjejal. Mereka berbaris berlarik-larik menuju Lapangan Perjuangan -semacam pusat kota yang berdebu- untuk menyaut kesempatan mendengarkan pidato Presiden Senegal terpilih hasil Pemilu.
Mayoritas yang hadir memakai Boubou -kain panjang yang dijahit membentuk jubah warna cerah- dan bertutup kepala peci. Dari keringat dan sorot matanya, mereka jelas kromo dan menebak-nebak. Sudah sekian lama tidak hujan di Dakar. Event Reli tahunan masih 5 bulan lagi. Ekonomi lesu. Orang memburu masa depan yang kadang tak teraih di atap-atap rumah mereka. Mereka menjadi percaya politik.
Di antara ribuan orang yang menyemut, presiden terpilih Bassirou Diomaye Faye berpidato. Ia menjanjikan harapan baru, Senegal yang baru. Dia memaafkan yang lampau; sesuatu yang sangat berat dirasakan –Faye ditahan 10 bulan oleh presiden sebelumnya Macky Sall dalam penjara sempit tanpa kebebasan. Presiden itu tidak menyerang presiden sebelumnya atas apa yang terjadi, dan ia memaklumkan perubahan. Sebagian dari massa menangis. Mereka tak tahu apa yang akan terjadi.
Esoknya Presiden Faye dilantik di Gedung Diamniadio -15 kilometer dari Dakar- dan pulang menuju pusat kota menaiki sepeda motor butut diiringi pengawal dan relawan setianya. Faye mulai merumuskan sesuatu.
Sore harinya, Sekretaris Pemerintahan Pusat Oumar Samba Ba berbicara di muka Istana mengumumkan bahwa Presiden mengangkat Ousmane Sonko -pemimpin oposisi- sebagai Perdana Menteri baru yang akan menjalankan roda pemerintahan. Pengumuman bersejarah tersebut naik tayang secara langsung di stasiun televisi nasional RTS. Publik mengernyitkan dahi. Senegal memasuki babak baru dengan tema usang namun penuh tafsir: Rekonsiliasi!
Presiden Faye adalah seorang sayap kiri dan pejuang pan-Afrikais yang vokal. Sejak 2020 dia mengusung gagasan perubahan, persatuan rakyat, dan diversifikasi ekonomi untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Tak ayal rezim Macky Sall berang. Turbulensi yang diakibatkan Faye membuat Sall yang tidak bisa maju lagi mengambil keputusan ekstrem: menunda pemilu.
Faye dijemput dan digelandang masuk penjara bersama pihak-pihak lain yang kritis pada rencana tersebut. Ousmane Sonko salah satunya. Tokoh islam moderat ini juga digolongkan sebagai musuh. Ia masuk sel berbeda blok, dan mengisi waktu membaca buku menanti kebebasan. Rezim Macky Sall seakan menang. Pertarungan para botoh di sekeliling Istana jadi bergeser: apakah Macky Sall akan memperpanjang masa jabatan atau menyerahkan tampuk kepemimpinan berikutnya kepada orang yang dia pilih.
Tapi kontraksi politik sebesar itu tak urung akan menarik publik internasional yang gandrung demokrasi untuk masuk dan melakukan “intersep”.
Negara tetangga mengecam tindakan Macky Sall. Beberapa diplomat menyanyi di forum internasional. Saat bersamaan, inflasi terkerek naik, harga bahan pangan melambung. Macky Sall didera hujan hinaan. Dia tak bisa mempertahankan egonya. Sall berbalik arah dan mengikuti kehendak demokrasi. Pemilu diputuskan akan digelar pada 24 Maret 2024.
Tepat 10 hari sebelum Pemilu digelar, para tokoh yang jadi pecundang dibebaskan. Faye, Sonko, dan banyak aktivis bebas. Mereka berkampanye dalam waktu terbatas untuk meraih simpati publik yang kadung hangus.
Dan Faye memenangkan Pemilu dengan 54,3% suara…
Ousmane Sonko sendiri adalah sosok baru -49 tahun- yang cukup kontroversial. Dia pensiun dini dari pegawai pajak, meneruskan passion hidupnya di politik, aktif turun ke masyarakat dengan berbagai kegiatan, dan berkampanye untuk mengganti mata uang CFA Franc peninggalan Kolonial Perancis. Dia termasuk golongan oposisi yang melawan rezim Sall dengan kencang.
Sedari awal Sonko adalah seorang ekonom yang lincah. Dia menguasai moneter -karena bekerja di perpajakan- dan mengenal kebijakan fiskal lewat ketekunannya menulis kritik terhadap berbagai dana pemerintah yang tidak terdistribusi tepat sasaran ke bawah. Sonko memahami birokrasi dengan baik, sekaligus membenci lagak hipokrit mereka dalam mencari uang tambahan diluar gaji.
Fitur dari Sonko tersebut yang membuat Diomaye Faye menaruh tabik. Faye yang juga menjadi oposisi terkuat Macky Sall, secara diam-diam ternyata belajar dan menjadikan Sonko mentornya. Kekuatan Faye dalam politik luar negeri dan gaya komunikasi politik yang cair membuatnya butuh sosok pekerja teknis yang cakap. Sosok itu ia dapatkan dari mentornya Sonko.
Itulah mengapa Presiden Bassirou Diomaye Faye -yang dalam bahasa Senegal artinya alim yang dihormati- kemudian merancang suatu kabinet rekonsiliasi dan menarik Ousmane Sonko sebagai Perdana Menteri.
12 tahun kepemimpinan Macky Sall adalah mimpi buruk yang tak hilang meski mata sudah terbelak.
Harga gandum dan beras naik secara gradual di angka yang terjal : 9,3%. Ketergantungan akan impor membuat rakyat kesulitan mengakses bahan bakar. Budaya korupsi merajalela. Rakyat menjadi biasa dengan uang tip dan sogokan administratif. Kualitas hidup rakyat stagnan. Mereka lapar harapan.
5 April lalu Perdana Menteri Sonko mengumumkan Kabinet baru -kabinet dalam tema rekonsiliasi- dengan 25 menteri dan 5 menteri muda. Dia menggandeng kekuatan oposisi di pos penting, dan menaruh harap pada sosok intelektual kampusan dan birokrat non-politik di sektor penting. Cheik Diba, mantan Dirjen bagian fiskal, diangkat menjadi Menteri Keuangan –komitmen penting bahwa sektor ini tetap dikukup non-partisan politik. Abdourrahmane Sarr -salah satu pemimpin partai tengah- didapuk menjadi Menteri Ekonomi.
Dan seperti banyak negara berkembang yang punya sejarah perang, Senegal -dengan tema rekonsiliasi sekalipun- akan selalu mengakomodasi kekuatan militer di kancah politik. Sonko mengangkat 2 jenderal bintang 4 sebagai Menteri Pertahanan dan Menteri Dalam Negeri. Beberapa pos setingkat dibawah Kementerian juga diisi purnawirawan.
Sonko juga secara tak sadar meniru Indonesia. Dalam perimbangan kekuatan untuk menunjukkan gelagat reformis, ia mengangkat Menteri Luar Negeri dan Menteri Urusan Perikanan perempuan. Mereka diharapkan bisa jadi oase bagi politik yang penuh deru. Presiden Faye menginginkan reformasi sektor kelautan (dan tidak saya ketahui apakah juga akan mengebom kapal asing), serta menuntut akselerasi audit perusahaan minyak dan tambang asing untuk agenda nasionalisasi jangka menengah.
Dengan sekian nama tenar di level nasional, akomodasi politik yang canggih, gagasan rekonsiliasi yang disebarkan masif, Senegal memulai reli panjang menghadapi diri mereka sendiri di masa lalu yang korup.
Apakah rekonsiliasi berhasil? Mengapa gerangan reformasi multi-aspek selalu berusaha menampilkan kesan merangkul banyak kekuatan?
Jawaban sementara: Tidak!
Senegal memanjat bukit terjal yang dibangun oleh masa lalu mereka sendiri. Audit sektor minyak gas dan mineral terkendala perjanjian investasi. Reformasi perikanan mirip-mirip. Mereka kesulitan meningkatkan produksi karna keterbatasan jumlah kapal dalam negeri. Toh ketika ada peningkatan, supply chains yang kacau tidak mampu mengkonversi surplus ekonomi menjadi distribusi kesejahteraan yang lebih merata. Mengganti mata uang? Tidak kalah memusingkan. Regional currency belum bisa terkonsolidir rapi, karena politik penetratif Amerika Serikat dalam rangka menjaga tatar Afrika dari pengaruh spektrum perang di Israel.
Dan kabinet rekonsiliasi, masih jadi perjalanan penuh tantangan. Akomodasi politik untuk merangkul berbagai kekuatan politik di internal mungkin berhasil. Tapi kemampuan mengendalikan keadaan –yang tidak semuanya bersifat internal- masih menggantung tanya.
Sementara di belahan lain dunia, di luar Afrika, beberapa negara selesai suksesi. Mereka juga demam rekonsiliasi. Mereka menginginkan kekuatan politik terhimpun rapi. Mereka ingin melemahkan oposisi.
Tapi politik tentu saja tidak lempang dan cenderung jadi kisah fiksi. Rekonsiliasi -sependek catatan saya- adalah agenda seperti lagu pramuka: di sini senang di sana senang, namun juga praktik berkemah yang tidak menetap dan rentan bubar karena hujan. Membentuk pemerintahan dari kalangan yang luas, seakan menyempitkan resiko ganjalan dari oposan, adalah membangun kemah yang beresiko bencana : ia tak kedap hujan, bisa ditumbuk angin, atau mungkin diserang ular. Berkemah hanya bersifat momentum dan sering hanya prosedural. Masing-masing datang untuk singgah sejenak demi sebuah acara bersama, dan kembali ke rumah masing-masing yang nyaman ketika acara purna. Rekonsiliasi; seperti acara pramuka; adalah selebrasi dengan aksi yang terbatas.
Dan kita saat ini diserbu cerita rekonsiliasi dan persiapan membangun kemah baru.
Kita tidak mudah setuju….