Jakarta – Ungkapan ‘Menang Kusanjung Kalah Kudukung’ belum sepenuhnya berlaku di dunia olahraga kita, terutama bagi kalangan netizen. Lihatlah fenomena yang dialami para pemain Indonesia U-23 dalam perjuangan ‘maraton’ menembus tiket Olimpiade Paris 2024.
Dalam penyisihan grup di Piala Asia AFC U-23, jalan itu begitu terjal berliku. Laga awal kalah 0-2 secara kontroversial dari tuan rumah Qatar. Selanjutnya, di luar dugaan, anak asuhan Shin Tae-yong memulangkan Australia lewat kemenangan 1-0 dan membantai Yordania 4-1. Indonesia pun lolos ke perempatfinal sebagai runner-up Grup A mendampingi Qatar.
Yang paling spektakuler, target masuk delapan besar tercapai, namun tim Garuda Muda tak berhenti di situ. Juara Piala Asia 2020 Korea Selatan dipaksa gagal menembus Olimpiade Paris lewat drama adu penalti 11-10.
Tiket menuju Olimpiade menjadi hak tiga besar peserta turnamen ini. Masuk semifinal, Indonesia U-23 kalah dari Uzbekistan 2-0. Demikian pula pada perebutan peringkat ketiga, Irak mengganjal dengan kemenangan 2-1 lewat babak perpanjangan waktu.
Nasib pemain Indonesia U-23 baik ‘roller coaster’. Kadang jadi pahlawan, kadang panen hujatan. Pun demikian dengan Marselino Ferdinan, gelandang yang jadi kunci permainan di lapangan tengah. Pemain bernomor tujuh ini mencetak dua gol kemenangan melawan Yordania, yakni di menit ke-23 dan 70.
Namun, saat kalah dari Irak, Marsel menjadi bulan-bulanan karena dianggap bermain egois dan mengejar ambisi menjadi top skor. Ia kerap membuang peluang yang didapat, alih-alih mengoper kepada kawan lain dengan peluang mencetak gol lebih tinggi.
Sontak, halaman komentar Instagram @marselinoferdinan10 penuh dengan cacian para penggemar Indonesia yang menyayangkan cara mainnya dalam laga melawan Irak. Apalagi kala Lino -panggilan akrab pemain Deinze Belgia itu- membalas dengan membuat IG Story bertulis ‘Negara Lucu’. Makin ramailah komentar netizen +62 merundungnya.
Meski begitu, masih ada satu dua pengunjung media sosialnya yang memberi semangat pada Lino. Mereka meminta Lino bijak, berkepala dingin, banyak berdoa dan tidak menganggap serius komentar dari netizen.
Eks pemain tim nasional yang pernah berjaya di level kelompok umur, Evan Dimas Dharmono pun berpesan di medsosnya,
“Mendukunglah dengan bijak , teriakanmu sangat berpengaruh untuk merah putih , berteriaklah yg lantang dan keras untuk mendukung bukan untuk menjatuhkan .. dua putra terbaik bangsa yg pernah membuat Indonesia bangga , yg pernah membuat merah putih berkibar di negara lain , yg pernah membuat semua orang dari sabang sampai Merauke berteriak , terharu dan bangga , dua putra terbaik bangsa yg pernah mencetak sejarah setelah 32 tahun Indonesia tidak menjurai sea games .. dukunglah dengan hal hal yg positif , doakan , dan jaga mereka kawal mereka sampai merah putih berkibar di kanca dunia .
Jika tidak mampu mendukung saat kalah , jangan bersorak saat timnas menang.”
Benar seperti kata Evan, seharusnya para pendukung tim sepak bola Indonesia lebih dengan lebih dewasa.
Jika terus ‘dirujak’ seperti ini, baik federasi, klub, maupun para pemain itu sendiri harusnya bisa menyediakan kehadiran psikokog untuk lebih menjaga kestabilan mental mereka.
Para pemain ini masih sangat muda, sangat disayangkan jika perundungan di dunia digital berdampak kurang baik, untuk kesehatan mental maupun bagi karir profesionalnya ke depan.