Jakarta – Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas). Hardiknas diperingati setiap tahunnya di Indonesia untuk menghargai pentingnya peran pendidikan dan seluruh instrumennya dalam memajukan bangsa. Pemerintah menetapkannya pertama kali pada 1959.
Kendati demikian, mutu pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah, padahal pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam menunjang mimpi besar Indonesia untuk menjadi negara maju.
Keberadaan pendidikan menjadi vital lantaran diharapkan bisa menghasilkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang hebat, sehingga mendorong produktivitas kerja dan pertumbuhan ekonomi nasional meningkat.
Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) mengadakan penilaian kualitas pendidikan suatu negara melalui Program for International Student Assessment (PISA) untuk mengevaluasi prestasi siswa yang berusia 15 tahun dalam tiga tahun sekali.
Pada 5 Desember 2023 lalu, OECD melaporkan hasil skor PISA Indonesia periode 2022 yang hasilnya turun cukup dalam. Bahkan, skor literasi membaca Indonesia menjadi yang terendah di antara skor PISA tahun-tahun sebelumnya. Hal ini merefleksikan mutu pendidikan di tanah air masih rendah.
Kualitas pendidikan Indonesia belum membaik signifikan meskipun anggaran pendidikan terus melonjak. Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp665 triliun atau 20 persen pada APBN 2024.
Sesuai amanat UUD 1945 danUndang-undangnomor20tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan minimal sebesar 20% dari total APBN.
Kebijakan tersebut sudah dimulai sejak 2009. Sejak tahun tersebut, pemerintah telah melakukan pemenuhan mandatory anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Anggaran pendidikan pun bengkak 206,8% dari Rp 216,72 triliun pada 2010 menjadi Rp 665 triliun pada 2024.
Kualitas pendidikan yang rendah ini kemudian berimbas pada partisipasi SDM di pasar tenaga kerja masih lemah. Pasalnya, angkatan kerja di Tanah Air masih didominasi masyarakat berpendidikan rendah, akan tetapi tingkat pengangguran dari lulusan universitas naik dikala jumlah pengangguran nasional turun.
World Competitiveness Yearbook (WCY) pada 2020 menempatkan daya saing SDM Indonesia pada peringkat 40 dari 63 negara dalam hasil survei mereka. Indonesia turun delapan peringkat dari tahun sebelumnya.
Bank Dunia juga menghitung Human Capital Index (HCI) untuk melihat sejauh mana peran pendidikan dan kesehatan terhadap produktivitas ke depannya. Pada tahun 2020, HCI Indonesia sebesar 0,54, berada pada peringkat 96 dari 175 negara.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2023 angkatan kerja paling banyak berasal dari penduduk yang berpendidikan tingkat dasar, mencapai 52,41%.
Di sisi lain, pada periode yang sama jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,86 juta orang, turun sekitar 560.000 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Jika dibandingkan dengan kondisi Februari 2023 juga terjadi penurunan sekitar 130.000 orang.
Penurunan pengangguran ini sebenarnya menjadi kabar gembira karena yang menunjukkan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Namun, sayangnya hal tersebut tidak disertai penyerapan tenaga kerja dari kalangan pendidikan tinggi.
Kontributor utama penurunan pengangguran lebih banyak masih disumbang segmen pendidikan dasar (SD/SMP sederajat) dan tingkat menengah (SMA/SMK) yang sama-sama menyusut. Kontras dengan itu, tingkat pengangguran lulusan universitas atau setara D3 ke atas malah mengalami kenaikan dari 4,76% menjadi 5,10%.
Pendidikan yang tinggi biasanya berkorelasi dengan potensi peningkatan pendapatan seseorang. Jadinya seharusnya, semakin tinggi pendidikan seseorang, maka peluang mendapatkan pekerjaan dengan pendapatan yang lebih tinggi meningkat. Namun, mirisnya yang terjadi saat ini malah sebaliknya.
Dominasi masyarakat bekerja dengan pendidikan rendah ini lebih rentan mendapatkan penghasilan yang kurang layak, ini bisa berimbas pada kemiskinan yang membuat masyarakat sulit mencapai kesejahteraan.


