Oleh: Dr. Harris Turino, ST., SH., MSi., MM – Anggota Komisi VI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
Pemerintah melalui Keputusan Menteri Perhubungan nomer 31 tahun 2024 tanggal 2 April 2024 secara resmi mencabut 17 status bandara internasional dari 34 bandara internasional yang ada di Indonesia. Kebijakan ini mengundang reaksi dari sejumlah Kepala Daerah yang wilayahnya tidak lagi memiliki bandara internasional. Bagi daerah keberadaan bandara internasional bukan hanya soal gengsi dan reputasi semata, tetapi banyak diyakini akan meningkatkan kunjungan investor dan wisatawan dari manca negara. Benarkah demikian?
Sejak tahun 2014 – 2019 Pemerintah telah membuka 34 bandara internasional di seluruh Indonesia. Walaupun dengan frekuensi yang terbatas bandara ini melayani penerbangan komersial regular ke luar negeri. Liberalisasi “terminal udara” diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah karena mampu meningkatkan air connectivity daerah terhadap dunia internasional.
Faktanya sebagian besar bandara internasional itu hanya melayani rute penerbangan Singapura dan Kuala Lumpur saja. Tidak ada penerbangan langsung dari Eropa, Amerika, Australia dan Asia lainnya ke bandara “internasional” tersebut. Dan sebagian besar penumpangnya adalah warga negara Indonesia, bukan investor asing atau wisatawan manca negara.
Akibatnya yang diuntungkan adalah Singapura dan Malaysia. Bandara-bandara “internasional” yang dibuka di Indonesia hanya menjalankan fungsi feeder bagi bandara Singapura dan Kuala Lumpur. Ini jelas menguntungkan Singapura dan Malaysia dan memperkuat posisi mereka sebagai international hub, dan akhirnya melemahkan bandara “utama” di Indonesia seperti Soekarno Hatta Jakarta dan bandara Ngurah Rai Bali, sekaligus juga melemahkan daya tawar perusahaan penerbangan berbendera Indonesia. Hal ini pernah juga dikupas secara mendalam oleh Ari Askara, mantan Dirut Garuda Indonesia.
Belum lagi soal resiko yang dihadapi oleh Indonesia dalam hal penyelundupan terutama narkotika, mengingat kualitas Bea Cukai dan fasilitas keamanan di bandara-bandara tersebut tidak memadai, tidak selevel dengan bandara Soekarno Hatta atau Ngurah Rai. Belum lagi kita bicara bagaimana potensi masuknya kepentingan-kepentingan asing yang tidak terpantau sehingga bahkan bisa menyebabkan potensi teroris di daerah.
Bagaimana praktik di negara besar yang lain? Thailand sebagai negara yang memiliki industri pariwisata yang sangat maju juga hanya membuka penerbangan langsung ke luar negeri dari beberapa bandara internasional, yaitu bandara Suvarnabhumi dan Don Mueang di Bangkok, Pataya, Phuket dan Chiang Mai. Bandara Suvarnabhumi adalah bandara utama Thailand dan merupakan bandara terbesar di Asia Tenggara, sementara bandara Don Mueang adalah salah satu bandara tertua di dunia yang didirikan tahun 1914. Sebelum Suvarnabhumi dibuka, bandara ini menjadi bandara internasional utama di Thailand dengan nama Bangkok International Airport.
Tiongkok sebagai raksasa dunia juga tidak membuka bandara internasional yang memiliki penerbangan komersial langsung sebanyak Indonesia. Hanya ada beberapa bandara yang melayani penerbangan komersial regular seperti bandara Beijing, Shenzen, Guang Zhao, Chengdu, Xian, Kunming, Hangzao, dan Wuhan.
Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara dengan jumlah bandara terbanyak di dunia, termasuk bandara internasionalnya, juga membatasi penerbangan komersial langsung regular di hanya beberapa bandara internasionalnya. Kita tidak bisa, misalnya terbang langsung dari Asia ke Wisconsin untuk melihat danau-danau nan indah atau langsung ke Millwakee untuk mengunjungi museum Harley Davidson di Amerika Serikat, padahal ada bandara internasional di Wisconsin dan Millwakee.
Ari Askara sebagai pengamat penerbangan mencermati bahwa bandara-bandara internasional di banyak kota kecil di Amerika memang berstatus sebagai bandara internasional, karena memang memiliki fasilitas Bea Cukai dan Imigrasi untuk turis asing. Tetapi mereka hanya melayani kargo internasional dan penumpang penerbangan charter internasional dan penerbangan VIP dengan menggunakan private jets yang pengawasannya jauh lebih mudah dan tidak melayani penerbangan komersial regular.
Rasanya Indonesia perlu belajar dari negara-negara tersebut dalam mengelola bandara internasionalnya. Keputusan Menteri Perhubungan tentang bandara internasional perlu ditinjau ulang, terutama soal kargo internasional. Kecepatan pengiriman logistik internasional, terutama untuk ekspor produk-produk Indonesia ke luar negeri harus diakomodir lewat bandara internasional yang dibatasi hanya melayani kargo internasional.
Di samping itu kebijakan Kementerian Perhubungan ini juga harus disikapi oleh perusahaan penerbangan Indonesia. Ini adalah suatu peluang untuk peningkatan rute domestik yang cukup menjanjikan. Misalnya dengan dicabutnya status bandara internasional di Palembang, maka perlu ditambah frekuensi penerbangan dari Palembang ke Kualanamu di Medan atau Soekarno Hatta di Jakarta untuk mengakomodir penumpang dari Palembang yang akan ke luar negeri.
Bagi industri kesehatan dan rumah sakit, ini juga menyajikan suatu peluang. Dengan ditutupnya banyak rute penerbangan regular langsung ke Singapura dan Kuala Lumpur, maka akan menyulitkan pasien Indonesia yang hobby berobat ke negara tersebut. Akan lebih mudah untuk berobat di Indonesia (Jakarta dan Bali), asal memang tersedia fasilitas kesehatan yang memadai dan setara dengan fasilitas kesehatan di Singapura dan Penang, yang selama ini menjadi tujuan wisata medis banyak penduduk Indonesia.
Intinya semua kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah, harus semata-mata menguntungkan Indonesia, dan bukan hanya memberikan rejeki kepada negara lain. Bukankah tugas Pemerintah untuk mensejahterakan seluruh rakyat Indonesia? Merdeka.