fJakarta – Situasi ekonomi global sedang tidak baik-baik saja. Demikianlah kabar yang dibawa Menteri Keuangan (Menkeu) RI Sri Mulyani Indrawati setelah menghadiri pertemuan IMF-World Bank dan G20 di Washington DC, Amerika Serikat. Saat ini banyak APBN negara-negara anggota G20 maupun negara-negara berkembang mengalami defisit dan rasio utang tinggi. Akibatnya situasi nilai tukar yang terkoreksi dalam ditambah suku bunga tinggi sangat memberatkan kekuatan fiskal.
Sri Mulyani mengatakan bahwa terdapat tiga hal utama dari pertemuan tersebut, yaitu outlook dan risiko ekonomi global, World Bank Evolution, dan pembahasan mengenai agenda perubahan iklim dan penguatan multilateral development bank (MDB).
“Pertama, dominasi mengenai kondisi outlook global dan risiko ekonomi global itu sangat besar, ini artinya dari sisi situasi kondisi mood dan fokus dari para pembuat kebijakan di bidang keuangan negara dan moneter sangat tercipta oleh downside risk atau risiko yang besar dari perekonomian global,” kata Sri Mulyani saat menghadiri Dalam konferensi pers APBN KiTa di Kementerian Keuangan, Jakarta.
Risiko tersebut salah satunya muncul dari eskalasi konflik geopolitik di Timur Tengah serta Ukraina. Kondisi ekonomi Amerika Serikat dengan Fed Fund Rate yang masih bertahan secara higher for longer juga menimbulkan gejolak di pasar modal, pasar uang, dan arus modal, termasuk nilai tukar.
“Ini mempengaruhi indeks dolar AS yang menguat. Nilai tukar mata uang yang lainnya menjadi lebih lemah atau terkoreksi. Sehingga suku bunga lebih tinggi dan capital outflow dan nilai tukar menjadi fokus pembahasan yang sangat besar,” imbuhnya.
Menyikapi situasi tersebut, Indonesia mengusulkan agar lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF melakukan penyesuaian kebijakan. Fokus pada reformasi capacity to finance atau to lend dari lembaga-lembaga itu, khususnya bagi negara-negara yang mengalami dampak negatif dan membutuhkan pembiayaan.
“Kita terus menyuarakan agar reformasi di multilateral institusi ini harus bisa menjawab tantangan kini dan ke depan, entah itu tantangan di bidang perubahan iklim kemudian lingkungan geopolitik yang menyebabkan dampak tadi dan juga adanya kondisi dari negara-negara emerging dan negara-negara berkembang yang tertekan oleh cost of borrowing tinggi,” tandasnya.