Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran, yang saat ini sedang bergulir di DPR RI. Pengurus Nasional AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menjelaskan penolakan didasarkan masa kerja anggota DPR RI periode sekarang yang tinggal beberapa bulan. Jika dipaksakan, sementara revisi memerlukan pembahasan mendalam, dikhawatirkan penyelesaiannya tidak akan maksimal.
Kekhawatiran Bayu didasarkan pada banyaknya materi yang bermasalah. Bahkan ada beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, diantaranya pasal 56 ayat 2 poin c, yakni larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.
“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,” jelasnya.
Selanjutnya, ada pasal-pasal yang berpotensi tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dewan Pers . Hal itu ada dalam pasal 25 ayat q tentang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran, dan pasal 127 ayat 2, dimana penyelesaian sengketa terkait dengan kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Padahal selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran mempunyai tujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik,” imbuhnya.
Sebelumnya, Komisi I telah mengirimkan draf RUU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR, untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Selanjutnya, jika disetujui, RUU itu akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan menjadi RUU usul inisiatif DPR RI.