Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Charles Simabura menyatakan, hakim Mahkamah Konstitusi (MK) menutup diri dan tidak berani membuat terobosan dalam putusan sengketa hasil Pilpres 2024.
Menurut Charles, sikap menutup diri dan tidak berani membuat terobosan karena menganggap penyelesaian dugaan kecurangan testruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada Pilpres 2024 bukan ranah MK, melainkan pada lembaga lain seperti DPR, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
“Jadi mereka sudah sadar bahwa Pilpres 2024 mengalami problem, tetapi mereka membatasi diri tidak mau mengoreksi, polanya hanya merekomendasikan perbaikan, mekanisme penyelesaian persoalan sudah cukup di Bawaslu, DKPP, MK tidak mau masuk lagi,” ungkap Charles di Jakarta, Senin (22/4/2024).
Selain itu, hakim MK tidak mau memberi hal baru atau terobosan terhadap kelemahan penyelenggaraan Pilpres 2024, MK hanya merekomendasikan tetapi tidak mengambil alih.
“Padahal, ini yang kita harapkan untuk mengoreksi Putusan MK Nomor 90/2023 dalam hal pencalonan Gibran,” katanya.
Lebih lanjut, dengan putusan MK pada hari ini yang menolak seluruh permohonan paslon nomor 01 Anies-Muhaimin dan paslon nomor 03 Ganjar-Pranowo, maka Putusan MK Nomor 90/2023 dianggap tidak lagi menjadi masalah.
Jadi, ujar Charles, dari alur putusan MK hari ini, cara berpikir hakim MK khususnya lima hakim MK yang tidak mengajukan dissenting opinion, klop dengan putusan sengketa hasil Pilpres 2024. Artinya, tidak ada unsur progresif dalam pertimbangan hakim.
Dia menambahkan, puluhan amicus curiae atau sahabat pengadilan yang disampaikan para guru besar, institusi, perorangan hingga Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri ke MK tidak menjadi bahan pertimbangan.
“Tidak ada kutipan dengan pendapat siapa. Pukul rata saja semua amicus curiae yang disampaikan ke MK,” pungkasnya.
MK memutuskan menolak permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yang diajukan paslon dan paslon 03.
Dalam sidang yang berlangsung selama 6 jam 30 menit, 8 hakim MK yang dipimpin Ketua MK, Suhartoyo, secara bergantian membacakan pertimbangan hukum hingga amar putusan terhadap perkara PHPU nomor 1 dan nomor 2.
Suhartoyo menyampaikan, putusan perkara PHPU nomor 1 dan nomor 2 diputus dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh 8 Hakim Konstitusi pada 17 April 2024 dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi secara terbuka untuk umum di Gedung MK, Senin (22/4/2024).
Adapun 8 hakim konstitusi yang terlibat dalam pengambilan keputusan, yaitu Suhartoyo selaku Ketua MK, dan hakim anggota yaitu, Saldi Isra, Arief Hidayat, Enny Surbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, M Guntur Hamzah, Ridwan Mansyur, dan Asrul Sani.
“Amar putusan, mahkamah menolak eksepsi termohon dan eksepsi pihak terkait untuk seluruhnya, dan dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya. Demikian diputus dan selesai diucapkan pada pukul 15.30 WIB oleh 8 hakim konstitusi,” kata Suhartoyo, sambil mengetuk palu.
Dengan putusan tersebut, maka 8 dalil permohonan PHPU yang disampaikan tim kuasa hukum paslon 1, serta 12 dalil permohonan PHPU yang disampaikan tim kuasa hukum paslon 3 ditolak seluruhnya oleh MK.