Jakarta – Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia (UI), Prof Sulistyowati Irianto mengatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal sengketa Pilpres 2024 akan jadi landmark decision. Putusan itu akan jadi ujian masihkah Indonesia negara hukum.
“Kita sedang menguji apakah ini kita masih negara hukum atau tidak melalui kasus ini,” kata Sulis dalam Diskusi Media: Landmark Decision MK yang digelar MMD Initiative di Gado-Gado Boplo Cikini, Jumat (19/4/2024).
Ia mengingatkan, kasus ini menguji pilar-pilar negara hukum yang dimiliki Indonesia mulai dari demokrasi, HAM dan mekanisme kontrol untuk mengontrol pemisahan kekuasaan. Yang mana, tidak hanya trias politica, yudikatif, eksekutif dan legislatif.
Maka itu, Sulis menilai, sengketa pemilu untuk Pilpres 2024 ini bersifat sangat khusus, tidak bisa direduksi menjadi penyelesaian sengketa biasa. Sehingga, ada harapan agar hakim MK bisa memikirkan pertimbangan yang melampaui analisis doktrinal.
“Artinya, hakim MK tidak sekadar menjadikan diri sebagai corong Undang-Undang saja, dan sebagai penjaga gerbang terdepan dari konstitusi MK harus mempertahankan konstitusi, biarpun langit runtuh konstitusi harus tetap tegak,” ujar Sulis.
Sulis menerangkan, ada perintah konstitusi dalam Pasal 22 E yang mengatakan asas pemilu langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil. Jadi, MK yang memiliki otoritas begitu besar bisa mengesampingkan segala produk UU yang bertentangan asas konstitusi.
Dalam sidang MK, ia berpendapat, ada masalah paradigmatik karena ada satu sisi yang cuma berpijak positivisme hukum. Sedangkan, sisi lain berpijak paradigma keadilan substantif yang bisa diakomodasi lewat pendekatan hukum inter disiplin.
Ranah pertama melihat kalau hukum sudah ke luar, dia tidak bisa diapa-apakan walau substansinya merugikan seperti putusan 90. Padahal, ia menekankan, epistemologi hukum ada dua kamar yang tidak melihat hukum cuma secara dogmatik atau doktrin.
Tapi, lanjut Sulis, ada inter disiplin ketika peneliti melakukan kajian-kajian dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan atau persoalan-persoalan hukum. Sehingga, hakim MK bisa mendapatkan penjelasan yang mampu melampaui analisis doktrinal.
“Sehingga, hukum itu bisa dikaji dengan mendapatkan jawaban yang mendasar, komprehensif, persis seperti sidang MK kemarin,” kata Sulis.
Sulis menambahkan, Indonesia tidak boleh berhenti sampai pemilu dan kalau bisa kita ingin abadi. Tapi, apakah itu akan terjadi sedikit demi sedikit akan ditentukan apakah bangsa Indonesia bisa memulihkan kesalahan-kesalahan, termasuk putusan MK 90.
“Jadi, itu harus dipulihkan melalui putusan yang sekarang, itu harapan kita,” ujar Sulis.