Jakarta – Tim Hukum pasangan calon (paslon) Nomor Urut 3, Ganjar Pranowo dan Mahfud MD (Ganjar-Mahfud), mengungkap ada 4 fakta mencolok di persidangan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Hal itu, disampaikan anggota Tim Hukum Ganjar-Mahfud, T.M Luthfi Yazid, dalam Kesimpulan Gugatan PHPU Pilpres 2024 yang dibacakan dan disiarkan secara daring.
Menurut Luthfi, terlepas dari semua proses yang telah terjadi, ada fakta-fakta hukum yang disepakati bersama oleh Pemohon, KPU, paslon 2, maupun Bawaslu dalam sidang PHPU, yang berlangsung 27 Maret 2024 hingga 5 April 2024.
Dia mengungkapkan, ada 4 fakta persidangan yang mencolok dalam sidang PHPU. Pertama, adanya pelanggaran etika di sepanjang perhelatan Pilpres 2024.
Kedua, telah terjadi nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo meski Paslon 2 mencoba menyangkal beberapa diantaranya.
Ketiga, telah terjadi abuse of power terkoordinasi di semua lini pemerintahan.
Keempat, telah terjadi pelbagai pelanggaran prosedur Pemilu selama periode Pilpres 2024 baik sebelum, pada saat, dan setelah hari pemungutan suara, termasuk dalam proses rekapitulasi suara.
“Adalah hal yang tak terbantahkan bahwa Pilpres 2024 diselenggarakan atas dasar pelanggaran etika berat yang bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi nomor 90/ar puu/ Romawi 21/ 20023 dan dilanjutnya dengan penerimaan Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024,” kata Luthfi.
Atas pelanggaran etika berat terkait putusan MK Nomor 90 yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka maju dalam kontestasi Pilpres 2024, Luthfi mengutip pernyataan Franz Magnis-Suseno atau Romo Magnis, imam Katolik dan pengajar filsafat yang menjadi saksi ahli di sidang PHPU.
“Di sini penting untuk mengutip pendapat ahli Franz Magnis Suseno yang menyatakan sudah jelas mendasarkan diri pada suatu keputusan yang diambil dengan pelanggaran etika yang berat merupakan pelanggaran etika berat sendiri. Penetapan seseorang sebagai calon wakil presiden yang dimungkinkan secara hukum hanya dengan satu pelanggaran etika berat juga merupakan pelanggaran etika berat,” ungkap Luthfi.
Dia menuturkan, sebagaimana ditunjukkan bukti-bukti pemohon selama penyelenggaraan Pilpres 2024, pelanggaran etika terus-menerus terjadi khususnya yang dikomando Presiden Joko Widodo.
Bentuk pelanggaran etika utama yang tentunya juga pelanggaran hukum yang terjadi adalah nepotisme yang dilakukan Presiden Joko Widodo yang melahirkan abuse of power terkoordinasi guna memenangkan paslon 2 dalam satu putaran pemilihan pada Pilpres 2024.
Nepotisme sebagaimana disepakati bersama oleh para pihak adalah hal yang dilarang khususnya bagi penguasa nomor satu di negeri ini. Terpusatnya kekuasaan akibat sistem pemerintahan Presidensial yang dipilih oleh Indonesia menyebabkan nepotisme yang dilakukan oleh Presiden menimbulkan dampak yang luar biasa luas.
Luthfi menjelaskan, nepotisme yang terjadi dimulai dari persiapan dasar hukum bagi Gibran Rakabuming Raka sebagai kontestan dalam Pilpres 2024 yang dilakukan bersamaan dengan penyiapan jaringan untuk mendukung Gibran Rakabuming Raka dan ditutup dengan tindakan-tindakan guna memastikan paslon 2 memenangkan Pilpres 2024 dalam satu putaran pemilihan.
“Meski ada upaya untuk menyangkal dan bahkan mengalihkan arah pembuktian, namun toh pada akhirnya nepotisme yang ada terbukti. Pelanggaran etika yang juga terjadi dan terbukti di dalam persidangan adalah abuse of power yang terjadi di semua lini mulai dari Kementerian atau lembaga TNI-Polri, pemerintah daerah, maupun pemerintah desa di sepanjang proses Pilpres 2024,” tutur Luthfi.
Terbuktinya nepotisme dan abuse of power ini, lanjutnya, membuktikan bahwa benar telah terjadi pelanggaran pemilu yang bersifat terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada Pilpres 2024.
Hal ini tentunya membuat penyelenggaraan Pilpres 2024 beserta dengan hasilnya tidak sesuai dengan amanat pasal 22e ayat 1 UUD 1945. Dalam perspektif prosedural pun fakta di dalam persidangan telah menunjukkan bahwa Pilpres 2024 dipenuhi dengan pelanggaran prosedur pemilu yang tentunya membuat proses dan hasil dari Pilpres 2024 tidak bisa dipercaya.
“Hampir tidak ada provinsi di Indonesia di mana jumlah surat suara cocok dengan jumlah pemilihnya. Jika pelanggaran prosedur macam ini tidak mendapatkan perhatian yang layak sudah barang tentu pelanggaran prosedur yang lebih besar akan terjadi pada pemilu berikutnya, dan yang terdekat adalah Pemilu kepala daerah di penghujung 2024,” ujar Luthfi.
Politik Dinasti
Pada kesempatan itu, Luthfi juga mengutip buku “Man of Contradictions” karya Ben Bland pada Tahun 2020, yang membahas mengenai kontradiksi Presiden Joko Widodo.
Pada satu bagian dalam bukunya, Ben Bland menunjukkan awal dari politik dinasti Presiden Jokowi dengan menyatakan tidak lama setelah terpilih kembali menjadi presiden RI pada 2019, Jokowi menyiapkan dinasti sendiri dengan mencalonkan Gibran Rakabuming Raka maju sebagai Wali Kota Solo.
Selain itu, suami Kahiyang Ayu, anak kedua Jokowi, yakni Bobby Nasution, juga mencalonkan diri sebagai Walikota Medan, sebuah Kota yang berkembang pesat di Sumatera Utara. Keduanya maju dengan Bendera Partai PDI Perjuangan yang juga menjadi partai pengusung Jokowi.
Dalam bukunya, Ben Blend memberikan analisis mengenai wajah asli Presiden Jokowi yang berubah menjadi otoriter dalam menekan kelompok oposisi Islam di Jakarta. Akibatnya, Jokowi semakin dekat dengan kaum elit dan semakin jauh dari akar rumput, dan mengadopsi politik transaksional dengan menggunakan kekuasaannya.
“Analisis ini rasanya menampilkan rupa Presiden Jokowi yang sebenarnya yang dapat diumpamakan sebagai Serigala Berbulu Domba. Rasa haus atas kekuasaan membuatnya tak segan untuk mencoba panjang masa jabatannya dengan pelbagai cara. Ketika upaya perpanjangan masa jabatannya gagal, dia pun memaksakan putranya untuk menjadi calon wakil presiden melalui manipulasi terhadap mahkamah konstitusi dan tentunya KPU,” kata Luthfi.
Dia mengungkapkan, dalam bukunya Blend kemudian membagikan pandangan mengenai nasib demokrasi Indonesia ke depan yang tidak akan mudah, namun perjuangan harus terus dilakukan, harus terus dimulai, dan harus terus dilanjutkan.
Terkait dengan itu, Luthfi menegaskan permohonan PHPU yang diajukan Paslon 3 adalah bagian dari perjuangan ini. Tentunya pemohon berharap putusan MK yang menjawab permohonan akan menjadi kelanjutan dari perjuangan tegaknya demokrasi di Indonesia.