Oleh: Dr. Harris Turino – Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa cadangan devisa Indonesia mengalami penurunan dalam 3 bulan terakhir, dari posisi di USD 146 milyar pada bulan Desember 2023 menjadi hanya USD 140 milyar pada bulan Maret 2024. Diperkirakan saat ini posisi cadangan devisa kita sudah berada di bawah angka USD 140 milyar. Penurunan cadangan devisa ini bisa dikatakan sebagai anomali mengingat Neraca Perdagangan Indonesia masih mencatat angka surplus selama 47 bulan berturut-turut sejak bulan Mei tahun 2020. Mengapa hal ini bisa terjadi?
Alasan yang paling masuk akal adalah intervensi yang dilakukan oleh otoritas moneter untuk mempertahankan penurunan mata uang rupiah terhadap dollar Amerika yang terjadi yang sudah mendekati batas psikologis di USD/IDR 16.000. Terpaksa Bank Indonesia melakukan operasi pasar agresif untuk mempertahankan batas psikologis ini, agar mata uang rupiah tidak semakin terjemberap menjelang pergantian pucuk pimpinan nasional di bulan Oktober 2024.
Penurunan mata uang rupiah ini juga menarik untuk dicermati, mengingat dalam dua bulan belakangan kebutuhan akan rupiah sebenarnya meningkat sangat drastis, terutama untuk belanja politik ketika pemilu 14 Februari 2024. Diperkirakan perputaran uang menjelang pelaksanaan pemilu 2024 bisa mencapai ratusan bahkan mendekati seribu triliun rupiah. Soal dana kampanye sebenarnya sudah diatur melalui UU Nomor 7 Tahun 2017 dan PKPU Nomor 18 Tahun 2023, tetapi dana yang senyatanya digelontorkan oleh tiga pasangan Calon Presiden dan puluhan ribu calon anggota legislatif jauh lebih besar dibandingkan dengan aturan yang ditetapkan.
Besarnya kebutuhan domestik akan rupiah seyogyanya akan memperkuat mata uang rupiah, sesuai dengan hukum dasar Ekonomi. Ketika kebutuhan meningkat dengan pasokan yang sama, maka harga akan naik. Apalagi hiruk pikuk pemilu dilanjutkan dengan liburan lebaran yang juga meningkatkan kebutuhan domestik rupiah dalam jumlah yang signifikan. Bila penguatan rupiah tidak terjadi dan bahkan rupiah malahan mengalami pelemahan secara signifikan, berarti ada faktor lain yang sangat berpengaruh, baik faktor eksternal dan internal.
Dari sisi eksternal, memang masih ada ketakutan bahwa Bank Sentral Amerika, The Fed, belum menunjukkan dimulainya relaksasi moneter dengan penurunan suku bunga, walaupun tanda-tandanya sudah mulai nampak dari semakin stabilnya pengendalian inflasi di dalam negeri Amerika. Diperkirakan penurunan suku bunga The Fed akan mulai dijalankan pada semester kedua tahun 2024. Masih menguatnya Indeks Dollar terhadap mata uang kuat dunia lainnya menkonfirmasi hal ini.
Yang lebih mengkawatirkan adalah dari faktor internal. Ketakutan pasar akan runtuhnya disiplin fiskal yang selama ini berhasil dipertahankan oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani, mengakibatkan banyak orang lebih memilih untuk memegang dollar. Apalagi dalam beberapa kesempatan, calon Presiden terpilih menurut versi KPU, mengatakan bahwa hutang negara bisa ditingkatkan lebih tinggi lagi. Hal ini dikemukakan dalam acara Mandiri Investment Forum pada pekan kedua Maret 2024.
Ada dua hal yang dikemukakan oleh Prabowo dalam acara MIF. Pertama, soal perlunya Indonesia meningkatkan rasio pajak yang saat ini masih berkisar di angka 10% terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga Indonesia, yaitu Malaysia, Vietnam dan Thailand yang bisa mencapai 16-18%. Peningkatan rasio pajak ini diharapkan bisa menambah pendapatan negara untuk membiayai program-program populis yang akan dijalankan oleh pemerintahan yang baru, yaitu pemberian makan siang dan susu gratis bagi anak-anak sekolah, para santri, ibu hamil, dan anak balita di Indonesia. Dengan asumsi biaya per orang mencapai Rp. 15.000 per hari untuk 83 juta orang selama 360 hari dalam setahun, maka dibutuhkan anggaran tambahan sebanyak Rp. 448,2 triliun rupiah.
Kedua, yang lebih menimbulkan polemik adalah soal defisit anggaran yang saat ini berada pada level 2% dari PDB. Prabowo menyinggung wacana soal menaikkan defisit anggaran mencapai maksimal di 2,8% untuk mendukung pembiayaan program pemerintahannya ke depan. Yang penting, kata dia, masih di bawah batas maksimum defisit anggaran yang ditetapkan undang-undang, yakni 3%. Bahkan lebih jauh Prabowo mengatakan bahwa batas angka maksimum 3% yang selama ini diadopsi Indonesia dari Uni Eropa, bisa dipertimbangkan untuk dinaikkan ke 6% seperti yang banyak dilakukan oleh negara-negara seperti German, Perancis dan Italia saat ini.
Jika benar ini yang dilakukan maka berarti Pemerintah akan diijinkan untuk menambah jumlah hutang untuk menambal defisit anggaran. Alasannya adalah jumlah hutang Indonesia saat ini masih berada pada level 39% dari PDB, masih di bawah angka maksimal yang disyaratkan yaitu 60% dari PDB. Dalam jangka pendek ini memang mampu untuk membiayai belanja Negara, tetapi dalam jangka panjang akan sangat berbahaya. Beban negara untuk membayar bunga atas hutang saat ini sudah mencapai hampir Rp. 600 triliun dari total APBN sebesar Rp. 3.300 triliun. Berarti 18,18% anggaran negara digunakan hanya untuk membayar bunga atas hutang, belum termasuk pokok hutangnya. Pokok hutangnya tidak berkurang dan apabila jatuh tempo akan dibiayai dengan menerbitkan hutang baru. Ini tentu seperti gali lubang dan tutup lubang, dan pada gilirannya akan semakin menghilangkan kepercayaan investor terhadap Indonesia.
Investor akan menuntut imbal hasil yang lebih tinggi dan ini semakin menyulitkan posisi Indonesia. Apalagi sebagian besar yang membeli adalah asing yang sifatnya spekulan atau hot money. Jika ada gejolak di pasar keuangan global, hot money ini akan dengan mudah meninggalkan Indonesia, yang berpotensi membuat nilai tukar rupiah gonjang-ganjing.
Namun, bahaya terbesar dari terbukanya kotak pandora defisit anggaran adalah potensi moral hazard untuk mencetak uang sendiri. Tatkala mendapatkan utang semakin sulit dan berbunga tinggi, maka dengan alasan membiayai pembangunan, bisa jadi pemerintah akan tergoda memaksa Bank Indonesia (BI) untuk mencetak uang dengan cara BI membeli Surat Berharga Negara di pasar primer, seperti yang dilakukan di masa pandemi Covid-19. Saat itu Pemerintah memang diijinkan untuk mengalami defisit di atas 3% berdasarkan Perppu No. 1 tahun 2020 yang kemudian disahkan menjadi UU no. 2 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Tentu langkah kebablasan money printing yang dilakukan dalam kondisi normal bisa memicu runtuhnya perekonomian negara dan terjadinya hiper inflation serta depresiasi mata uang rupiah besar-besaran.
Pemerintah memang tidak boleh ugal-ugalan dalam mengelola keuangan Negara. Disiplin fiskal mutlak perlu dijalankan oleh pemerintahan mendatang. Masa depan 280 juta penduduk Indonesia menjadi taruhannya. Pernyataan politis dari para pemangku kepentingan negeri harus dijaga agar tidak semakin menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap perekonomian Indonesia. Perlu dilakukan langkah terobosan untuk menambah penerimaan negara melalui peningkatan rasio pajak. Sebaliknya memperbesar porsi hutang bahkan sampai merevisi batas maksimal adalah langkah yang sangat berbahaya.
Saat ini yang bisa dilakukan pemerintah adalah menjaga kepercayaan investor. Salah satunya dengan mempertahankan kurs rupiah agar tidak menembus batas psikologis Rp. 16.000 dengan cara melakukan operasi moneter. Berapa biaya yang dikeluarkan untuk operasi ini? Sulit untuk didapatkan datanya, tetapi yang pasti cadangan devisa kita sudah berkurang USD 6 miliar dalam 3 bulan terakhir. “Intervensi natural” berupa peningkatan kebutuhan domestik rupiah untuk pemilu dan lebaran lah yang ikut menyelamatkan rupiah. Tuhan memang sayang pada bangsa Indonesia. Merdeka!