Jakarta – Ahli Hukum Tata Negara Charles Simabura mengatakan, pencalonan Gibran Rakabuming Raka cacat formal sehingga dapat menggugurkan pencalonan dan Pilpres 2024.
Pembatalan hasil Pemilu karena cacat formal pernah dilakukan Mahkamah Konstitusi (MK). pada beberapa kasus pilkada. Misalnya, MK menganulir kemenangan Orient Patriot Riwu Kore di Pilkada Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2020 karena yang bersangkutan secara faktual pemilik paspor Amerika Serikat (AS) dan paspor Republik Indonesia.
Selain itu, MK mendiskualifikasi pasangan calon Orient Patriot Riwu Kore-Thobieas Uly, sehingga Pilkada diulang dengan hanya menyertakan dua paslon.
Charles yang tercatat sebagai dosen pada Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang menyebut, bahwa cacat formal bisa menggugurkan segala-galanya dalam pemilu, maka gugatan paslon 01 dan paslon 03 yang mempersoalkan pencalonan Gibran dan meminta agar paslon nomor 02 Prabowo-Gibran didiskualifikasi dari peserta Pilpres 2024 adalah sangat rasional.
“Memiliki dasar hukum yang kuat, dan MK tidak boleh terpaku pada selisih angka, harus melihat persoalan secara luas. Jika MK berpikir progresif, tidak terpaku pada selisih perolehan suara, maka tuntutan gugatan diskualifikasi paslon 02 bisa diputus,” kata Charles dikutip dari kanal Abraham Samad “Speak Up,” Kamis (4/4/2024).
Selain pada Pilkada Sabu Raijua, MK juga mendiskualifikasi pasangan calon nomor urut 4, Yusak Yaluwo-Yakob Waremba, dan memerintahkan agar dilakukan pemungutan suara ulang karena tejadi pelanggaran dalam penetapan persyaratan pencalonan paslon Yusak-Yakob menurut keputusan KPU Kabupaten Boven Digoel, pada 23 September 2020 sebagai peserta pilkada Boven Digoel 2020.
Menurut hakim, keduanya terbukti tak memenuhi syarat selaku bekas narapidana kasus korupsi. Yusak-Yakob belum menjalani masa jeda lima tahun sejak dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin Bandung 2017.
Putusan DKPP
Lebih lanjut, Charles menjelaskan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) pada 5 Februari 2024 memvonis Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari dan enam anggota lainnya melanggar kode etik dalam menerima pendaftaran Gibran sebagai Cawapres.
Hasyim Asy’ari dijatuhi sanksi peringatan keras terakhir. Selain Hasyim, anggota KPU RI lainnya, yakni Yulianto Sudrajat, August Mellaz, Betty Epsilon Idroos, Parsadaan Harahap, Idham Holik, dan M Afifuddin, juga dijatuhi sanksi peringatan.
Pencalonan Gibran, ujarnya, berdasarkan putusan DKPP cacat yuridis, sehingga tidak sah tetapi tetap berlangsung dan hasilnya menurut KPU paslon 02 meraup 58% suara, pada Pilpres 2024.
Charles menuturkan, bahwa dalam putusan DKPP terbukti ada pretensi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 23/2023 sebagai respons atas putusan MK Nomor 90/2023 hanya untuk menerima dan mengamankan pencalonan Gibran.
“Faktanya KPU dapat sanksi peringatan keras terakhir. Bukan sanksi biasa. Ini saksi paling tinggi dalam etik. Sebelumnya ketua KPU sudah dapat sanksi 3 kali,” jelas dia.
DKPP menjatuhkan sanksi peringatan keras dalam pencalonan Gibran karena ada cacat prosedur, tapi DKPP tidak bisa membatalkan kecatatan prosedur, tetapi hanya sanksi etik.
“Ini tidak profesional, artinya pemilu dilaksanakan penyelengara yang tidak profesional dan tidak kredibel, maka hasilnya itu yang dibawa ke MK, kok sudah beberapa kali kena sanksi peringatan keras,” lanjutnya.
Kronologi PKPU 23/2023
Pada kesempatan itu, Charles secara terbuka menguraikan kronologi lahirnya PKPU Nomor 23/2023. Ketika MK menetapkan Putusan Nomor 90/2023 pada 16 Oktober 2023, KPU hanya mengirim surat pemberitahuan kepada seluruh parpol pada 17 Oktober 2024, bahwa pencalonan presiden dan wakil presiden berpedoman pada Putusan MK Nomor 90/2023.
Semestinya, putusan itu diikuti perubahan PKPU untuk merespons perubahan, namun hal itu tidak dilakukan KPU sampai pada akhirnya Prabowo-Gibran mendaftar pada hari terakhir masa pendaftaran paslon pada 25 Oktober 2023. Adapun, dasar hukum yang dijadikan KPU menerima pendaftaran itu adalah PKPU Nomor 19/2023 yang masih mengisyaratkan minimal usia Capres dan Cawapres 40 tahun.
Alasan KPU menggunakan PKPU itu karena DPR reses, sehingga tidak bisa dilakukan konsultasi. Padahal, saat reses DPR bisa bersidang atas izin pimpinan DPR. Semestinya, menurut Charles, KPU berkirim surat ke DPR, pada 17 Oktober 2023 untuk menindaklanjuti putusan MK Nomor 90/2023, dan PKPU bisa selesai dalam waktu satu hingga dua hari. Tapi, hal itu tidak dilakukan KPU.
Selanjutnya, KPU menggelar tes kesehatan Capres-Cawapres pada 26 Oktober 2023, dilanjutkan pada 27 Oktober membuat berita acara terima berkas pendaftaran. Kemudian, pada 28 Oktober dilakukan verifikasi.
“Dalam praktiknya, berita acara semestinya dibuat pada hari pelaksanaan pendaftaran. Kemudian, DPR selesai reses pada 30 Oktober dan pada 3 November keluar PKPU 23/2023 setelah konsultasi ke DPR, Kementerian hukum dan HAM,” papar Charles.
KPU merevisi PKPU Nomor 19/2023, namun telat dan PKPU 23/2023 tidak disebutkan berlaku surut serta tidak disebutkan bahwa pendaftaran menurut PKPU Nomor 19/2023 sah berdasarkan PKPU terbaru.