Jakarta – Sosiolog Politik, Ubedilah Badrun, mengatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) lebih parah dari era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto.
Hal itu, disebabkan Jokowi melanggengkan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) serta merusak demokrasi yang justru menjadi agenda gerakan reformasi untuk menggulingkan Orde Baru.
“Yang kita koreksi dari orde baru itu kan tiga, yaitu KKN, tapi ternyata rezim ini melanggengkan dan mempraktikkan lagi. Jadi mimpi indah kita saat reformsi tahun 98 itu engak jadi kenyataan sekarang,” kata Dosen Sosiologi Politik Universitas Nasional Jakarta (UNJ) yang akrab disapa Kang Ubed, dalam acara “Speak Up, ” di YouTube Channel Abraham Samad, Kamis (4/4/2024).
Menurut dia, bukti bahwa pemerintahan Jokowi lebih parah dalam memberantas KKN tergambar pada Indeks Persepsi Korupsi yang diumumkan Transparency International Indonesia.
Peringkat Indeks Persepsi Korupsi Indonesia pada tahun 2023 mengalami stagnasi dibandingkan dengan tahun sebelumnya, dengan skor 34, merosot dari peringkat 110 menjadi 115.
Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tersebut ternyata sama dengan saat pertama kali Presiden Jokowi menjabat sebagai Presiden pada tahun 2014. Itu berarti selama 9 tahun masa pemerintahan, Jokowi tidak memiliki kontribusi berarti dalam agenda pemberantasan korupsi, bahkan cenderung membawa kemunduran yang signifikan.
Selain itu, lanjut Kang Ubed, reformasi memperjuangkan ditegakkannya demokrasi yang berkualitas, antara lain mengatur pemilihan umum langsung dan pembatasan masa jabatan presiden.
Meski demikian, indeks demokrasi Indonesia masih masuk kategori flow demokrasi, demokrasi yang cacat. Bahkan, indeksnya memburuk.
Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, indeks demokrasi Indonesia turun 9 poin dari peringkat 53 pada 2019 menjadi peringkat 62 saat ini.
Tak hanya itu, agenda reformasi untuk membawa pertumbuhan ekonomi yang menyejahterahkan masyarakat juga tak terealisasi. Fakta empirik menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia stagnan di kisaran 5% sampai 5,2%, dan angka pengangguran serta kemiskinan masih tinggi.
Itu sebabnya, Kang Ubed menilai pemerintahan Jokowi lebih buruk dari Orde Baru dan Orde Lama. Meskipun sama-sama menerapkan pemerintahan otoriter, Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto tidak berhadapan dengan kontrol publik secara langsung.
Di era Orde Lama di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, dan juga Orde Baru di bawah Presiden Soeharto, tidak ada internet dan media sosial yang bisa secara gamblang memberi ruang pada kritik secara terbuka.
“Sekarang sudah ada internet, ada media sosial, semua bisa tersorot dan kontrol publik sangat terbuka, tapi pemerintah masih otoriter, bahkan terang-terangan mempraktekan kolusi dan nepotisme, itu kan aneh. Korupsi masih merajalela, sekarang indeks persepsi korupsi kita turun skornya jadi 34,” ungkap Kang Ubet.
Merit System
Kang Ubed juga mengkritisi pemerintahan Jokowi yang tidak merealisasikan merit system, sebagaimana yang dijanjikannya waktu terpilih menjadi Presiden RI pada tahun 2014.
Saat itu, Jokowi menyampaikan akan melakukan merit system dan digitalisasi birokrasi agar tidak ada KKN. Merit System adalah proses mempromosikan dan mempekerjakan pegawai pemerintah berdasarkan kemampuan untuk melakukan pekerjaan, bukan pada koneksi politik mereka.
“Kenyataanya apa, merit system bullshit jadinya, karena anaknya aja tidak merit system, langsung jadi Ketua Partai padahal baru 2 hari jadi anggota, lalu jadi calon wakil presiden padahal bertentangan dengan konstitusi. Jadi menurut saya ini rusak, lebih parah dari Orde Baru,” ungkap Kang Ubed.
Terkait dengan itu, Kang Ubed menyerukan agar anggota DPR mendengarkan rakyat dan akademisi untuk kembali menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah.
“Mudah kok, enggak usah khawatir. Kalau elit politik mau memberikan pelajaran berharga buat bangsa Indonesia agar tetap pada agenda reformasi, beri hukuman pada kekuasaan yang berlebihan ini,” tutur Kang Ubed.
Dia menambahkan, sanksi hukum sangat penting karena apa yang terjadi saat ini, khususnya dalam penyelenggaraan Pemilu 2024, menunjukkan Trias Politika Indonesia sedang terancam akibat kekuasaan yang berlebihan dan sarat penciteraan di masyarakat.