Jakarta- Penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dinilai efektif meningkatkan suara petahana atau kandidat yang didukung petahana presiden saat kontestasi politik tersebut digelar.
Hal tersebut diungkapkan pengamat ekonomi sekaligus akademisi Universitas Indonesia (UI), Vid Adrison dalam sidang ketiga sengketa Pilpres yang berlangsung hari ini, Senin (1/4/2024). Vid hadir sebagai saksi ahli yang membeberkan statistik soal pengaruh bansos terhadap tingkat keterpilihan pasangan calon presiden-calon wakil presiden di pemilu.
“Saya berusaha untuk mengalkulasi berapa dampaknya dengan memperhitungkan berapa total DPT (daftar pemilih tetap) per provinsi, kemudian berapa tambahan suara akibat dukungan presiden dan bansos. Maka diestimasi ada tambahan 26 juta suara untuk pasangan 02,” kata Vid di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta.
Berdasarkan hitungan tersebut, Vid mengandaikan jika pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming tak mendapat dukungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) atau tidak terdampak efek bansos, perolehan suara keduanya hanya sekitar 65.598.746 atau 42,38 persen saja.
Jumlah tersebut didapat dari perolehan suara Prabowo-Gibran yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu 96.214.691 suara, dikurangi estimasi penambahan suara akibat dukungan presiden dan bansos sekitar 26.615.945 suara.
Estimasi perolehan suara 42,38 persen itu tak jauh berbeda dengan elektabilitas Prabowo-Gibran yang dipublikasikan survei Charta Politika pada 4-11 Januri 2024, yaitu sebesar 42,20 persen.
“Saya menggunakan data hasil Pilpres dari 2004 sampai 2024 dan melihat apa yang menentukan perolehan suara. Ternyata kesimpulannya adalah, kesimpulan besarnya, adalah petahana atau kandidat yang didukung oleh petahana akan mendapatkan persentase suara yang lebih tinggi,” kata Vid.
Dalam menyampaikan analisisnya, Vid merujuk pada teori political budget cycles. Sebuah konsep yang menggambarkan pola perilaku pemerintah dalam mengelola anggaran publik menjelang pemilihan umum. Menurut teori ini, pemerintah cenderung melakukan manipulasi anggaran untuk meningkatkan popularitas mereka dan memenangkan dukungan pemilih.
Menurut Vid, salah satu aspek dari teori ini adalah peningkatan pengeluaran pada sektor-sektor yang dianggap penting oleh pemilih, seperti perlindungan sosial, infrastruktur, dan layanan publik.
“Dan persentase suara pemenang lebih tinggi di daerah-daerah kemiskinan yang lebih tinggi. Singkatnya, akan ada peningkatan spending menjelang pemilu dan itu akan menguat ketika yang naik itu adalah, yang ikut itu adalah incumbent,” ujar Vid.
Peningkatan bansos tersebut, menurut Vid, konsisten terjadi pada 2022-2023, setahun sebelum menjelang Pilpres. Bansos dianggap efektif karena sejalan dengan masih tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia.
Menurutnya, bagi masyarakat miskin, nilai uang bansos jauh lebih besar dibandingkan dengan masyarakat berpenghasilan tinggi. Hal ini membuat bansos memiliki dampak yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan dan dukungan dari masyarakat miskin terhadap petahana atau kandidat yang didukungnya.
“Nilai uang valuenya berbeda tergantung dari income seseorang. Bagi orang miskin nilai Rp200 ribu luar biasa dibanding masyarakat berpenghasilan tinggi,” tegasnya.
“Saya melakukan exercise yang bisa diverifikasi. Kesimpulannya, ada bukti statistik yang kuat dan konsisten untuk menunjukkan hubungan positif kemiskinan dengan persentase perolehan suara petahana,” jelas dia
Riset yang dilakukan oleh Aspinall (2017) dan Tawakkal (2017), menurutnya juga menunjukkan hubungan positif antara jumlah bantuan dalam bentuk apa pun dengan perolehan suara. Survei LSI juga menunjukkan bahwa mayoritas penerima bansos mendukung paslon tertentu dalam pemilu, khususnya jika bansos tersebut berasal dari program pemerintah atau petahana.
Dengan kombinasi faktor-faktor di atas, menurut Vid, bansos menjadi instrumen yang efektif dalam meningkatkan dukungan bagi petahana atau kandidat yang didukung oleh petahana dalam pemilihan umum.