Jakarta – Ketua Tim Demokrasi dan Keadilan Ganjar-Mahfud, Todung Mulya Lubis mengatakan, nama Presiden Joko Widodo (Jokowi) kerap disebut dalam permohonan perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (PHPU Presiden) 2024, karena inti persoalan Pilpres yang dihadapi saat ini adalah nepotisme, yang melahirkan abuse of power yang terkoordinasi.
Permohonan PHPU paslon 03 Ganjar-Mahfud juga mempersoalkan penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU), karena menerima pendaftaran anak Presiden Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) tanpa mengubah peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2003 bahwa batas usia calon presiden (capres) dan cawapres adalah 40 tahun.
Sementara itu, dasar pencalonan Gibran yang belum memenuhi batas usia minimal capres-cawapres 40 tahun adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/2023 yang memperbolehkan seseorang di bawah usia 40 tahun bisa menjadi capres cawapres bila menjabat sebagai kepala daerah yang dihasilkan dari proses pilkada.
KPU menerima pendaftaran Gibran sebagai cawapres sebelum PKPU Nomor 19 Tahun 2003 diubah. Padahal, putusan MK itu tidak berlaku surut dan KPU baru mengubah PKPU itu pada 3 November 2023.
“Ketika pendaftaran dilakukan batas minimal usia capres – cawapres masih 40 tahun. Itu kan tidak berlaku surut. Yang salah adalah KPU. Tetapi banyak pihak menilai Jokowi di balik putusan MK,” kata Todung mengutip kanal Youtube Abraham Samad “Speak Up,” Sabtu (30/3/2024).
Lebih lanjut dikatakan, MK yang kala itu diketuai Anwar Usman terlibat dalam hubungan yang nepotisme. Anwar Usman adalah iparnya, sementara Gibran adakah anak Jokowi.
“Nepotisme ini yang melahirkan berbagai penyalahgunaan kekuasaan untuk memenangkan paslon 02,” tukas Todung.
Aturan Bansos
Todung menyebut, kecurangan yang terjadi pada Pemilu 2024 sangat berbeda dengan pemilu yang dinilai demokratis yakni Pemilu 1999. Kala itu, lembaga pemantau pemilu asing dari Amerika Serikat (AS), Australia, Filipina, Uni Eropa dan Jepang melakukan pengamatan pelaksanaan pemilu.
Mantan Presiden AS Jimmy Carter kala itu membawa delegasi dari AS dan setelah pelaksanaan pemilu memberi keterangan pers bahwa Pemilu 1999 telah berlangsung dengan sangat demokrasi, sedikit pelanggaran dan politik uang, sedikit intimidasi dan manipulasi.
“Tapi, yang kita lihat sekarang kecurangan terstruktur sistematis dan massif (TSM). Dan ini belum pernah terjadi. Setelah 1999, Pemilu 2004 dan Pemilu 2009 oke, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tidak cawe-cawe,” jelas dia.
Tidak mengherankan bila media asing seperti “The Economist” menyebut Pemilu 2024 adalah pemilu paling tidak demokratis di Indonesia. Kemudian, “The New York Times” menulis demokrasi Indonesia sangat korup.
“Pikiran saya antara lain, bansos senilai Rp 496,8 triliun dan adjustment Rp 50 triliun, lebih dari Rp 500 triliun bansos dikucurkan saat pileg dan pilpres. Bayangkan berapa banyak. Ini yang kita underestimate Jokowi. Ini kebijakan sejak gubernur, jumlahnya makin besar,” tutur Todung.
Mantan Duta Besar RI untuk Norwegia dan Islandia itu menyebut, nilai bansos yang dikucurkan itu melebihi bansos saat pandemi Covid-19 terjadi pada tahun 2020, 2021 dan 2022.
“Ini pesta demokrasi. Tidak butuh vaksin, kok bisa lebih besar? Apa tujuannya selain untuk memperoleh suara?” tanyanya.
Dia menekankan tidak seluruh bansos disalurkan melalui Kementerian Sosial, dalam hal ini Menteri Sosial Tri Rismaharini. Hal itu didasarkan pada peraturan presiden (perpres) yang memberi kewenangan kepada presiden untuk menyalurkan bansos tanpa melibatkan menteri sosial.
“Jokowi sudah mempersiapkan regulasinya. Jokowi dengan sadar dan sangat berani mengubah the rule of law (supremasi hukum) menjadi rule by law. Di sini dibuat dasar hukum perpres yang memang sah, tetapi subjektivitas kekuasaan ada di situ,” tegas Todung.