Jakarta – Calon Wakil Presiden (Cawapres) nomor urut 3, Mahfud MD, mengungkit pendapat yang pernah dilontarkan Ahli Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra terkait sengketa hasil Pemilihan Umum (Pemilu).
Mahfud menyampaikan itu dalam pidato pembukaan di Sidang Perdana Permohonan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, pada Rabu (27/3/2024).
Dalam pidato yang disampaikan secara berurutan dengan calon presiden nomor urut 3 Ganjar Pranowo, Mahfud memberikan gambaran tentang peran MK dalam peta hukum Indonesia.
Menurut dia, dalam perjalanannya MK Indonesia pernah memberikan warna progresif bagi perkembangan hukum konstitusi di indonesia dan dinilai sebagai lembaga penegak hukum yang sangat kredibel.
“Harvard Hand Book Tahun 2012 seperti yang ditulis oleh Tom C menilai MK Indonesia adalah salah satu dari 10 MK paling efektif di dunia,” kata Mahfud.
Selain itu, beberapa jurnal ilmiah di dunia baik dalam bentuk disertasi, makalah, jurnal akademik hingga berbagai media massa juga mengapresiasi keberanian MK dalam membuat landmark decision di Indonesia.
Bahkan, dalam konteks penyelesaian sengketa pemilu, begawan hukum Satjipto Rahardjo pernah menulis artikel dengan judul “Tribute untuk Mahkamah Konstitusi” di Harian Kompas, edisi 14 Juli 2009.
Dalam artikel itu, Satjipto Rahardjo mengatakan perlu ada sebuah monumen agar semua orang mengingat bahwa Indonesia pernah memiliki MK yang bekerja dengan penuh penghormatan, dan tidak takut terhadap intimidasi.
“Salah satu kunci pernah banjirnya apresiasi terhadap MK adalah keberanian MK dalam membuat landmark decision, keputusan monumental yang dengan berani menembus masuk ke relung keadilan substantif sebagai sukma hukum, bukan sekadar keadilan formal prosedur semata,” ungkap Mahfud.
Dia menjelaskan, landmark decision yang dibuat MK dalam hal pengujian UU misalnya pada teori open legal policy yang lahir atau digunakan secara resmi pertama kali oleh MK.
Selain itu, dalam hal mengadili pelanggaran pemilu, MK juga memperkenalkan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan massif yang kemudian diadopsi dalam tata hukum Indonesia.
Mahfud kemudian mengungkit pendapat dari Ahli Hukum Tata Negara, yakni Yusril Isra Mahendra saat menjadi saksi ahli dalam sengketa hasil pemilu 2014.
Ketika memberikan kesaksian pada pada 15 Juli 2024, Yusril menyebut penilaian atas proses pemilu yang bukan hanya pada angka harus dilakukan oleh MK.
“Pandangan ini bukan pandangan lama, melainkan pandangan yang selalu baru dan terus berkembang sampai sekarang, yang melahirkan pandangan bahwa MK bukan Mahkamah Kalkulator,” ungkap Mahfud.
Dia menambahkan, di berbagai negara, pelanggaran pemilu yang diadili oleh MK juga memberikan putusan yang berani, yakni membatalkan hasil pemilu karena dinilai berlangsung curang dan melanggar prosedur. Hal itu dilakukan MK di Australia, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, dan Thailand.
Perang Batin
Terkait dengan sidang sengketa hasil pemilu yang mulai digelar di MK, Mahfud menyampaikan, sangat memahami tugas berat yang diemban lembaga tersebut.
Menurut dia, pasti ada yang selalu akan datang untuk meminta permohonan ditolak atau dikabulkan. Hal itu tentu bukan hanya dari orang yang terlibat dalam sengketa pemilu, tetapi juga dari bisikan dalam nurani para hakim, yang menimbulkan perang batin.
“Kami sadari tentu berat bagi MK menyelesaikan perang batin ini dengan baik, tapi kami berharap MK mengambil langkah penting untuk menyelamatkan masa depan demokrasi dan hukum di Indonesia,” tutur Mahfud.
Hal itu, lanjutnya, untuk menghilangkan rasa apatis dan persepsi bahwa bahwa pemilu hanya akan dimenangkan oleh orang yang memiliki kekuasaan dan uang yang berlimpah.
Jika berbagai kecurangan dalam Pemilu 2024 ini dibiarkan terjadi, Mahfud menilai hal itu menunjukkan keberadaan demokrasi Indonesia menjadi mundur.
“Kami berharap majelis hakim dapat bekerja dengan independen, penuh martabat, dan penghormatan,” kata Mahfud.
Dia menambahkan, bagi Ganjar-Mahfud yang terpenting bukan siapa menang dan siapa yang kalah, tetapi masalah ini adalah beyond the election.
“Gugatan ini merupakan edukasi bagi bangsa Indonesia untuk menyelamatkan masa depan dengan peradaban yang lebih maju melalui hukum dengan elemen dasar sukma yaitu keadilan substantif, moral, dan etika,” ujar Mahfud.