Jakarta – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menolak legalisasi ganja mendapat dukungan dari Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) RI Marthinus Hukom. Ditemui saat acara Peringatan 22 Tahun BNN RI di Jakarta, ia menjelaskan dukungannya tersebut sudah berdasarkan berbagai pertimbangan.
Dari segi medis, pemakaian ganja yang berlebihan akan mempengaruhi saraf manusia. Selain itu dari berbagai penelitian, tidak ada keuntungan secara medis mengenai penggunaan ganja.
Sedangkan dari segi etis, ganja menimbulkan efek adiktif (ketergantungan) pada prang yang menggunakannya.
“Lalu alasannya apa kalau mau dilegalkan? Tidak ada alasan, baik medis maupun etis,” tuturnya.
Sebelumnya, MK menolak permohonan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1976 tentang pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya. Permohonan diajukan oleh Pipit Sri Hartanti dan Supardji, keduanya adalah orangtua dari Shita Aske Paramitha yang mengidap cerebral palsy sejak kecil.
Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyebutkan narkotika golongan I (ganja dan turunannya) hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan. Tidak boleh digunakan dalam terapi, karena berpotensi tinggi mengakibatkan ketergantungan. Selain itu, sebagaimana ditegaskan Putusan MK Nomor 106/PUU-XVIII/2020, belum ada bukti pengkajian dan penelitian secara komprehensif (setelah putusan tersebut) atas penggunaan ganja atau zat kanabis untuk pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, MK menegaskan pentingnya pemerintah segera melakukan pengkajian secara khusus mengenai penggunaan ganja untuk kepentingan medis di Indonesia. Tujuannya, agar isu tersebut dapat segera selesai dan terjawab secara rasional dan ilmiah. Terlebih saat ini makin banyak aspirasi masyarakat berkenaan dengan kebutuhan penggunaan ganja untuk kepentingan kesehatan dan alasan kemanusiaan.