Jakarta – Namanya Ahmad Hanafi, biasa dipanggil Boas. Pria ini sehari-hari bekerja sebagai Guru Bahasa Inggris di SMK Negeri 1 Tanjung, Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan, sebuah kabupaten yang berjarak 250 kilometer atau sekitar 4-5 jam dari Banjarmasin.
Hanafi alias Boaz cukup populer di kalangan penggemar sepak bola, terutama karena kenekatannya travelling menonton berbagai pertandingan level internasional dan juga sebagai pendukung timnas Garuda.
Pekan ini, Hanafi terbang dari Kalsel ke Jakarta, demi menjadi saksi kemenangan anak asuhan Shin Tae-yong mengalahkan Vietnam 1-0 dalam lanjutan Pra Piala Dunia 2026 di Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. Hari pertama ia menginap di Ibis, Sabang, Jakarta Pusat, namun pada malam berikutnya, Boas pindah ke Fairmont, hotel bintang lima yang juga jadi tempat menginap tim nasional Indonesia.
“Saya senang sekali karena target utama mendapat tanda tangan Shin Tae-yong tercapai. Saya cegat usai makan pagi sebelum pertandingan,” cerita Hanafi sembari memamerkan coretan spidol hitam Shin Tae-yong di dada jersey timnas putih yang dikenakannya.
Sementara di punggung jerseynya ada banyak lagi tanda tangan pemain timnas yang dikejarnya seharian kemarin. Selepas laga, Hanafi merasa kurang sreg karena pencetak gol tunggal Indonesia, Egy Maulana Vikri, belum membubuhkan tanda tangan.
Maka, usai laga usai, ia bergegas kembali ke hotel dan menanti para pemain kembali. “Saya berhasil bertemu Egy. Ia mengenakan hoodie, pakai tudung kepala. Tak banyak yang mengenalinya, tapi saya tahu itu Egy. Komplit deh koleksi saya,” kata Hanafi.
Berbincang di kamar lantai 16 hotel bertarif Rp 3 juta semalam itu, Hanafi bercerita kedatangannya ke Jakarta banyak dibantu rekan-rekannya pengusaha dari Kalsel.
“Mereka sebenarnya ingin ikut nonton dan berburu tanda tangan dan foto dengan pemain timnas. Tapi karena tak bisa meninggalkan kesibukan kerja, teman-teman itu jadinya ‘nitip mata’ kepada saya,” kata Hanafi, yang dipanggil Boaz karena saat bermain bola kerap memakai jersey bernama Boaz Solossa, striker timnas Indonesia asal Papua.
Hanafi bercerita suka dukanya hingga saat ini sudah menginjak 35 negara. “Saya bukan berasal dari keluarga mampu. Berapa sih gaji seorang guru? Tapi saya nekat, dan kemampuan berkomunikasi, terutama Bahasa Inggris, menjadi modal penting keliling dunia,” urainya.
Faktor gigih berusaha, tekun membuatnya disertai dewi fortuna alias keberuntungan. Hanafi berkisah, ia sering datang ke sebuah negara hanya berbekal tiket pesawat. Namun, dengan perjuangannya tak kenal lelah, ia pun mendapat tiket pertandingan dengan berbagai cara yang tak pernah dibayangkan.
“Saat ke Kiev, Ukraina, nonton Final Liga Champions 2018, Piala Dunia Rusia 2018, Final Piala Dunia Antarklub Qatar 2019 dan berbagai momen lain, saya bersyukur akhirnya dapat tiket match melalui jalan-jalan tak terduga,” ungkap alumnus program International Visitor Leadership Program (IVLP) dari Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat itu.
Hanafi banyak berbagai tips untuk mendapat tiket berharga itu, misalnya dengan mengirim ‘direct message’ ke jurnalis internasional di akun media sosialnya, atau berkunjung ke komunitas suporter dari berbagai negara.
“Biasanya para suporter seperti dari Brasil punya tiket Piala Dunia dari penyisihan hingga final, karena berharap timnya lolos sampai akhir dan juara. Begitu timnya kalah, tiket laga lanjutan itu mereka obral hingga sangat murah. Bahkan, ada juga yang diberikan gratis,” kenangnya.
Selain nonton sepak bola, penggemar Liverpool dan timnas Inggris ini bercerita ia kerap plesir ke luar negeri karena mendapat tiket murah.
“Rekor saya, bisa dapat tiket seharga Rp 147 ribu dari Yogyakarta ke Kuala Lumpur. Dari Malaysia, saya lanjut ke Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, baru kembali ke Indonesia,” kata Hanafi.
Di negara-negara tempatnya berkelana, tak jarang pula ia mendapat tambahan saat diminta mengajar Bahasa Inggris kepada masyarakat setempat. Misalnya saat nonton Piala Dunia di Samara, Rusia, atau kala berpetualang ke Kamboja.
“Di sana saya coba mengajarkan Bahasa Inggris kepada komunitas warga lokal dengan cara sesimpel mungkin, yakni dengan berbagi lembaran uang rupiah, lalu mengajak dialog, ‘This is five thousand rupiahs. With this money, you can buy this, this, and this,” jelasnya.
Selain itu, pemasukan tambahan didapat Hanafi dari ‘jastip’ alias jasa penitipan barang. “Dari membelikan sebuah kain tenun atau busana khas lokal, saya bisa dapat keuntungan lumayan. Setidaknya, ongkos transportasi balik modal deh,” tutur pria yang sudah travelling ke 35 negara di dunia.
Hanafi berpesan kepada anak-anak muda tanah air untuk mewujudkan mimpi berkeliling dunia.
“Jangan beralasan tak punya duit. Semua itu bisa diwujudkan jika punya keinginan dan usaha keras. Jadi, segeralah bikin paspor dan realisasikan tekad untuk bepergian ke mancanegara. Apalagi kalau Anda ada di kota besar yang akses transportasinya lebih memungkinkan, dibandingkan saya di pedalaman,” pungkasnya memotivasi.