Jakarta – Pemerintah Amerika Serikat memaksa ByteDance menjual Tiktok ke perusahaan Amerika Serikat dalam tempo 180 hari. Kegagalan penjualan akan menyebabkan aplikasi asal China ini diblokir oleh pemerintah Amerika Serikat. Sekitar 170 juta pengguna Tiktok di Amerika Serikat pun terancam kehilangan hak akses.
Seorang analis keuangan menyebut, TikTok mungkin akan terjual dengan harga melebihi US$ 100 miliar (Rp 1.574 triliun). Angka tersebut termasuk rendah, sebab TikTok menghasilkan penjualan sebesar US$ 16 miliar (Rp 251 triliun) di AS tahun lalu. Financial Times melaporkan, angka pendapatan itu seharusnya bisa memberi nilai bagi perusahaan hingga $150 miliar. Bagaimanapun, dengan nilai transaksi sebesar US$ 100 miliar, TikTok akan menjadi salah satu kesepakatan merger dan akuisisi terbesar dalam sejarah dengan kompleksitas dan keterbatasan waktu.
Terlepas dari masalah harganya, banyak pakar memandang penjualan Tiktok akan menimbulkan tantangan finansoal, teknis, dan geopolitik yang mengarah pada kerugian.
“Jumlah hambatan dalam transaksi ini sangat ekstrem,” ujar mantan mitra merger dan akuisisi di firma hukum Shearman & Sterling Lee Edwards.
Sementara itu, mantan Kepala Merger dan Akuisisi Teknologi Global di Citi, David Locala, mengharapkan adanya kejelasan dari pemerintah Amerika Serikat terkait pemaksaan ini.
“Regulator (pemerintah) Amerika Serikat mungkin harus mengambil tindakan. Apakah mereka ingin kepemilikan TikTok di Amerika Serikat, atau apakah mereka ingin satu atau lebih perusahaan teknologi besar menjadi lebih besar?” katanya.
Persoalannya sekarang, siapa yang punya uang sebanyak itu dalam waktu singkat untuk mengakuisisi Tiktok? Mantan pimpinan Activision Blizzard, Bobby Kotick, dan investor asal Kanada, Kevin O’Leary, telah menyatakan ketiadaan dana jadi penghalang minatnya pada kesepakatan TikTok.
“Daftar penawar di sini sangat sedikit,” imbuh David Locala.