Jakarta – Pakar hukum tata negara Refly Harun mendukung gagasan pengadilan rakyat untuk menegakkan keadilan dan ditujukan kepada penguasa yang melanggar konstitusi.
Pengadilan rakyat yang digaungkan kalangan guru besar dan civitas academica itu menjadi koreksi bagi DPR yang cenderung diam di tengah dugaan kecurangan terstruktur, sistematis, dan massif (TSM) pada penyelenggaraan Pemilu 2024.
Menurut Refly, pengadilan rakyat dibutuhkan ketika lembaga negara macet, sehingga rakyat harus kembali pada keberanian untuk membuat arus berbeda.
“Lembaga yang ada mampet. Apa yang Anda harapkan dari anggota DPR yang hidup makmur, bak selebritas, dan uang banyak. Dalam satu periode Anda sudah bisa kaya raya. Orang seperti itu bukanlah orang yang mau berubah secara drastis,” tegasnya dikutip dari kun Youtube Refly Harun, Sabtu (16/3/2024).
Dia berharap pengadilan rakyat yang digaungkan pakar hukum tata degara dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Zaenal Arifin Mochtar atau biasa disapa Uceng dalam acara di Balairung UGM bertajuk “Kampus Menggugat: Tegakkan Etika dan Konstitusi, Perkuat Demokrasi.”
“Kita butuh pengadilan rakyat. Untuk apa? Untuk keadilan. Untuk siapa? Untuk penguasa yang melanggar konstititusi misalnya menciptakan pemilu tidak jujur dan tidak adil alias curang. Bagaimana mendesain demokrasi dikebiri, mendesain kebebasan tidak ada lagi, mendesain alat negara menjadi centeng mereka,” bebernya.
DPR Tidur
Sementara itu, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Luluk Nur Hamidah mengatakan, usul pengadilan rakyat yang digaungkan para guru besar merupakan suatu kepiluan bagi dirinya sebagai anggota DPR:
“Ada apa dengan kami yang ada di DPR? Apakah lembaga demokrasi ini berfungsi atau tidak?” ujarnya di acara Kontroversi, Jumat (14/3/2024).
Ketua DPP PKB ini menuturkan bahwa gagasan pengadilan rakyat merupakan suatu koreksi bagi DPR sebagai lembaga demokrasi yang memiliki kewenangan untuk menampung aspirasi rakyat, memberi respons dan jalan keluar, serta berwenang mengoreksi tindakan pemerintah namun cenderung diam di tengah Pemilu 2024 yang dianggap sebagai pemilu brutal dan ugal-ugalan.
“Bagi saya bukan perlu atau tidak perlu [pengadilan rakyat], tetapi DPR ini tidur atau tidak sehingga kemudian ide ini muncul?” tanyanya.
Lebih lanjut, gagasan pengadilan rakyat memperlihatkan bahwa demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja, sehingga para guru besar keluar dari kampus dan bersuara.
“Saya yakin ini tidak mudah. Ini sudah lampu merah. Di sisi lain, saya senang masih ada kaum intelektual yang bangkit sebagai penjaga pilar demokrasi,” kata Luluk yang sempat menyuarakan hak angket untuk menyelidiki dugaan kecurangan pada Pemilu 2024 saat rapat paripurna DPR pada Selasa (5/3/2024).
Tantang DPR
Sementara itu, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menantang anggota DPR untuk menjadi penyeimbang dari kekuasaan yang disalahgunakan oleh penguasa.
Salah satu pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) ini mengingatkan bahwa jika tidak ada unsur penyeimbang, maka yang terjadi adalah otokratisme bukan demokrasi.
Dia mencatat, DPR terakhir kali menggunakan hak angket terhadap KPK pada tahun 2017.
Bivitri membandingkan kerja anggota DPR yang sigap mambahas sejumlah undang-undang (UU) dibandingkan menggulirkan hak angket dugaan kecurangan TSM pada Pemilu 2024.
Disebutkan, DPR hanya butuh 43 hari untuk memproses UU IKN, 14 hari untuk menyelesaikan revisi UU 30/ 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan enam hari untuk revisi UU 4/2009 Tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara (Minerba).
“Para guru besar geregetan karena hak angket belum juga digulirkan di DPR. Kami paham dinamika di DPR ada kasus atau belum tentu solid, ada yang ‘disetrum’. Kami yang di luar berharap. Ayolah wakil rakyat tunjukkan bahwa kalian menjadi penyeimbang yang baik dari kekuasaan yang disalahgunakan,” ujar pemeran film dokumenter “Dirty Vote.”
Bivitri menjelaskan, pengadilan rakyat dibuat untuk mendorong DPR supaya melaksanakan fungsinya, dan pengadilan rakyat ini bukan suatu hal yang luar biasa.
Ini seperti unjuk rasa, tapi lebih kelihatan pembuktiannya untuk mendorong peristwa politik besar yang akhirnya mendorong para politikus untuk melakukan langkah politik.
“Kami merasa kalau kami semata-mata bergantung pada lembahga formal seperti Mahkamah Konstitusi (MK), kita punya banyak tantangan.” ujarnya.
Pertama, ada ketidak percayaan karena putusan MK Nomor 90 tahun 2023 yang membuka jalan bagi putra Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka untuk maju sebagai Cawapres pada Pilpres 2024.
Kedua, keterbatasan MK yang hanya mengadili selisih hasil perolehan suara pada pilpres, tapi dugaan kecurangan TSM seperti politik gentong babi, pengerahan aparat tidak akan bisa terungkap di MK kecuali di DPR dalam bentuk hak angket.