Yogyakarta – Dosen di Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savirani, mengeluh kondisi politik saar ini membuat lidahnya terasa kelu saat mengajarkan demokrasi kepada para mahasiswanya.
“Kami menjadi kesulitan mengajarkan demokrasi karena praktik demokrasi yang terjadi di negara ini berbeda dengan teori yang kita pelajari dan diskusi di kelas,” kata Amalinda dalam aksi ‘Kampus Menggugat UGM: Tegakkan Etikda dan Konstitusi Demokrasi’
Amalinda mengingat, 25 tahun lalu ia turut terlibat sebagai mahasiswa yang memperjuangkan reformasi. Ketika situasi kembali mundur, seperti sekarang, ia pun merasa upaya memperjuangkan demokrasi seperti siklus yang berulang dan harus dlakukan kembali.
Dalam aksi itu, pakar hukum Zainal Arifin Mochtar menyebut perlakuan rezim Presiden Joko Widodo menguatkan kembali elemen atau kubu oposisi yang telah lama dibonsai dan didomestikasi hingga lumpuh.
“Oposisi bangkit itulah tanda demokrasi insya Allah akan menuju lebih sehat,” kata Zainal yang akrab disapa Uceng itu.
Saat wacana hak angket DPR untuk mengusut kecurangan pemilu 2024 mulai berembus, dan DPD memulai pansusnya, maka Uceng mengajak para akademisi UGM khususnya untuk membangun pengadilan rakyat.
Kata Uceng, ketika lembaga negara tak serius mengadili dan menjatuhkan sanksi, maka rakyat mengambil peran tersebut seperti yang sudah dilakukan di negara luar.
“Demokrasi bukan tidak pernah kalah tapi demokrasi itu adalah membutuhkan perjuangan,” ucap Uceng.
Sementara itu Busyro Muqoddas mengajak para akademisi agar tak berpangku tangan melihat situasi ini. Bulan Ramadan, menurutnya, jadi momen menyedekahkan pemikiran dan komitmen melawan politik dinasti.
Baginya, proses politik selama pemilu kemarin membuktikan bahwa ada fakta rasa malu kandas pada elite politik istana. Etika politik dikubur, dan diganti dengan berkobarnya syahwat nafsu politik keluarga presiden.
“Bukti ketetelanjangan etika politik kenegaraan adalah direnggutnya konstitusi kita, 1945 terutama dan marwah Mahkamah Konstitusi terutama lewat putusan MK nomor 90 tahun 2023 yang memberi previlege secara amoral, asosial terhadap anak sulung Presiden Jokowi yang bernama Gibran,” kata mantan pimpinan KPK ini.