Jakarta – Kesusahan yang dialami penduduk negeri ini sudah sampai tingkat akut. Baik kesulitan karena faktor ekonomi akibat harga bahan kebutuhan pokok makin tinggi dan susah didapat, kondisi politik kacau balau, maupun hal-hal lain terkait situasi yang lebih mikro.
Meski sudah berlalu beberapa hari, kisah sekeluarga bunuh diri loncat dari apartemen di Jakarta Utara itu patut menjadi renungan, agar peristiwa depresi massal serupa tak terus terulang.
Empat orang dalam satu keluarga itu terdiri dari ayah, ibu, dan sepasang anak yang masih remaja. Mereka ditemukan tewas usai melompat dari Lantai 22 Apartemen Intan Tower di Jalan Inspeksi Teluk Intan, Kelurahan Pejagalan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Sabtu 9 Maret 2024.
Keempat korban itu adalah pria EA (50), perempuan berinisial AIL dan dua anak remaja laki-laki berinisial JWA (13) dan remaja wanita berinisial JL (16).
Tragisnya, satu keluarga itu lompat dari apartemen dengan mengikatkan diri masing-masing dengan seutas tali. Sang ayah tangannya terikat dangan anak perempuan, sementara ibu terikat tali dengan anak laki-laki.
“Pada saat terjatuh, EA terikat dalam tali yang sama dengan JL. AIL terikat tali yang sama dengan JWA,” kata Kapolsek Penjaringan, Jakarta Utara, Kompol Agus Ady Wijaya.
Dari rekaman kamera CCTV, polisi mengatakan pihaknya mengetahui sebagian aktivitas keluarga tersebut sebelum melompat dari apartemen itu. Disebutkan, mereka terlihat naik ke lantai 22 apartemen.
Dalam rekaman video, sang ayah sempat mencium istri dan dua anaknya ketika hendak masuk lift.
“CCTV menunjukkan para korban ini datang bersama, naik lift bersama. Di lift, EA menciumi para korban lain,” ungkap Agus Ady Wijaya.
Setelah itu, sang ibu mengumpulkan ponsel para korban dan diletakkan dalam tasnya hingga keluar lift, kata polisi.
“AIL mengumpulkan HP para korban di tasnya, sampai keluar lift bersama,” papar Agus.
Sesampainya mereka di lantai atas, tidak ada saksi lain yang melihat aktivitas mereka. Tetapi, kamera CCTV kedua menayangkan saat empat orang itu jatuh bersamaan usai melompat dari lantai atas apartemen.
Agus Ady Wijaya mengatakan keempat korban bunuh diri di Apartemen Teluk Intan Penjaringan sudah mempersiapkan diri untuk melakukan aksi nekat tersebut.
“Persiapan itu terlihat dari gerak gerik mereka di CCTV sebelum melakukan aksi bunuh diri,” urainya.
Mereka datang ke Apartemen Teluk Intan sekitar pukul 16.20 WIB menggunakan mobil Grandmax B 2962 BIQ. Keempatnya masuk ke lobi dan langsung menuju lift. Saat di lift, AE mencium kening istrinya AIL yang mengumpulkan semua telepon seluler korban ke dalam tasnya.
Setelah keluar dari lift mereka menaiki tangga darurat dan sampai di roof top lalu meloncat dari atas. “Dari gerak gerik kami menyimpulkan ini bunuh diri yang sudah dipersiapkan bersama,” kata dia.
Kompol Agus Ady mengatakan keluarga ini memang menghuni kamar di apartemen tersebut tapi selama dua tahun terakhir mereka tidak tinggal di sana.
“Kesimpulan awal motif korban adalah bunuh diri dan kami lakukan penyelidikan lanjutan,” kata dia. Keempat korban mengalami luka berat di bagian kepala dan patah di sekujur tubuh.
Ia mengatakan keempat jasad sudah dibawa ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan Visum Et Refertum dan selanjutnya disemayamkan di Rumah Duka Grand Heaven Pluit, Jakarta Utara.
Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, menilai keluarga korban yang diduga bunuh diri dengan melompat dari sebuah apartemen di Penjaringan, Jakarta Utara, kurang mendapatkan bantuan dari masyarakat dan keluarga besar sehingga bunuh diri menjadi ‘pilihan terakhir’.
“Keluarga-keluarga ini terpaksa harus berdiri sendiri, tidak bisa lagi mengakses bantuan sosial. Kalau misalnya minta tolong tetangga tidak mungkin, negara juga tidak bisa,” katanya.
Kasus ini, menurut Adrianus, membuktikan bahwa masyarakat urban memerlukan intervensi dari warga sekitar ataupun keluarga besar.
Salah seorang tetangga korban, Arif, mengaku sudah kenal dengan keluarga korban sejak 2017. Saat itu, Arif tinggal di lantai 16, bersebelahan dengan bilik keluarga korban.
Ia mengaku sempat mendengar keluarga empat orang itu berencana pindah ke Solo, Jawa Tengah.
“Saat itu suaminya sudah pulang. Tinggal anak dan istrinya,” kata Arif, 48, kepada kantor berita Antara.
Pria yang bekerja sebagai pengusaha sarang burung walet itu menyatakan dirinya sempat memberikan uang sejumlah Rp3 juta kepada keluarga itu.
Ia menyatakan, uang itu ia berikan tanpa keluarga tersebut meminta. “Saya tahu mereka lagi susah. Perempuannya mau nangis,” kisahnya.
Arif mengaku selama tinggal bertetangga dengan keluarga itu, tak pernah ia mendengar keributan dari bilik tersebut. “Cuma saya pernah lihat barang-barang di dalam rumah berantakan,” ujarnya.
Semoga, bangsa yang lekat dengan nilai gotong royong dan solidaritas tinggi ini tak lagi menemui berita kesulitan hidup berimbas pada bunuh diri massal seperti itu lagi.