Jakarta – Dewan Pakar Politik TPN, Muhammad AS Hikam berharap hak angket akan digulirkan pada Rapat Paripurna DPR RI ke-13 di Gedung Nusantara II Senayan, Jakarta, Selasa (5/2/2024).
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, dijadwalkan membahas dua agenda utama. Pertama, adalah pidato Ketua DPR RI Puan Maharani untuk Pembukaan Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2023–2024. Kedua, pelantikan Pengganti Antar Waktu (PAW) Anggota DPR dan MPR RI, pada sisa masa jabatan 2019–2024.
“Rapat paripurna DPR RI menjadi awal dari usulan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan Pemilu 2024,” kata Hikam di Jakarta, Selasa (5/3/2024).
Ia mengatakan, apabila wacana hak angket benar-benar digulirkan pada sidang paripurna, satu harapan rakyat kepada DPR perlahan mulai terjawab.
“Hak Angket merupakan hak DPR untuk memberikan penilaian kepada pemerintah, dalam hal ini presiden yang bertanggungjawab sebagai kepala negara saat berjalannya proses pemilu. Setelah itu, rakyat akan melihat bagaimana indikasi kecurangan Pemilu ini diselesaikan,” kata dia.
Mantan Menristek era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu juga menyoroti reaksi Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang terkesan ‘nonchalant’ alias ‘cuek bebek’ setiap wartawan melontarkan pertanyaan terkait hak angket. Menurutnya, sikap Presiden Jokowi ini bisa saja mencerminkan dua hal berbeda.
Pertama, bisa jadi sikap itu merupakan ekspresi tingkat kepedean yang tinggi terhadap kemampuan Istana menghadapi dan memitigasi dampak hak angket.
“Ini didasarkan pada sejarah kesuksesan manuver politik Istana yang terlihat dalam berbagai kasus sebelumnya,” jelasnya.
Menurutnya, Presiden Jokowi memiliki kekuatan untuk mempengaruhi politik, terutama partai politik di DPR, melalui iming-iming dan sanksi yang efektif.
Hikam menganggap sikap ‘cuek bebek’ Presiden Jokowi merupakan bagian dari strategi untuk menenangkan para pendukungnya dan masyarakat umum.
“Kedua, sikap ‘nonchalant’ adalah upaya menyembunyikan kegalauan dan kecemasan terhadap potensi Hak Angket yang berujung pada perubahan signifikan dalam proyek-proyek politik yang telah dibangun selama beberapa tahun terakhir,” kata Hikam.
Mencermati kemungkinan ini, Hikam menilai hal ini mencakup upaya untuk mempertahankan pengaruh Presiden Jokowi dan dinasti politiknya.
“Sikap ‘nonchalant’ mungkin hanyalah sebuah fasad diplomatik yang bertujuan untuk memberikan rasa aman kepada para pendukungnya dan masyarakat umum, serta untuk menutupi potensi perlawanan yang muncul terhadap Istana. Kekhawatiran atas munculnya gelombang besar perlawanan terhadap Istana coba ditutupi dengan gestur ‘nonchalant’ ini,” kata Hikam. ()