Jakarta – Pakar teknologi informasi (TI) Agus Maksum ungkap modus kecurangan perhitungan suara Pilpres 2024 dan menuding Komisi Pemilihan Umum (KPU) terlibat.
Menurut Maksum, perhitungan suara KPU menggunakan Sistem Informasi Rekapitulasi (Sirekap) sengaja dibuka celah, sehingga intruder atau ‘penyusup’ diizinkan masuk untuk mengotak-atik data atau suara yang masuk.
Adapun, server Sirekap itu berada di Tiongkok di bawah anak perusahaan grup Alibaba.
‘Penyusup’ yang dimaksud Maksum adalah bukan orang melainkan perangkat lunak (software) yang sudah diset hasil perhitungan suara Pilpres 2024. Akibatnya, ada penggelembungan suara di tingkat tempat pemungutan suara (TPS). Disebutkan, ditemukan di salah satu TPS jumlah suara untuk paslon nomor 02 mencapai 136.000. Padahal, sesuai UU Pemilu Nomor 7/2017 bahwa jumlah pemilih pada daftar pemilih tetap (DPT) 300 orang plus 2%. Ini berarti maksimal jumlah suara pada satu TPS adalah 306.
“Jadi desainnya, harusnya KPU itu mengunci suara di setiap TPS 306, harusnya beritahu ke developer aplikasi untuk dikunci di angka 306 sehingga tidak ada orang yang memasukkan angka melebih itu,” kata Maksum melansir kanal Youtube Abraham Samad Speak Up, Jumat (1/3/2024).
Lebih lanjut, ketika suara paslon nomor 01 dan paslon nomor 03 masuk, maka ‘penyusup’ akan mengubah persentase perhitungan suara dengan cara masuk ke dalam salah satu TPS yang tidak rapi, sehingga menghasilkan 136.000 suara.
Kebohongan Luar Biasa
Dikatakan, celah pada Sirekap yang tidak dikunci, sehingga ada peluang jumlah suara melampaui jumlah DPT, telah diakui Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari dengan menyatakan terjadi kesalahan, tapi pengakuan itu tidak tulus alias tricky.
Alasannya, pihak KPU menyalahkan OCR, kamera pembaca karakter berupa angka, sehingga kesalahan bukan pada administrasi Sirekap tetapi kesalahan pada OCR yang salah membaca angka.
“Ini kebohongan yang luar biasa. Bukti kebohongan, kalau Anda menguji OCR di angka 306 pada setiap TPS, maka berapapun angka yang dihasilkan OCR, mau 1 juta atau 400 tidak akan masuk kalau desainnya benar, nyatanya masuk dan kebanyakan terpola. Ini KPU mengelabui, seolah-olah yang disalahkan kamera/teknologi padahal didesain. Anda membuat celah untuk angka yang dihasilkan software angka besar, lalu Anda menyalahkan OCR,” jelasnya.
Lebih lanjut dikatakan, kecurangan pada sistem TI KPU merupakan kesengajaan dan KPU terlibat karena KPU merupakan narasumber bagi developer untuk men-develop aplikasi Sirekap.
Maksum juga mengungkap, bahwa yang terjadi saat ini adalah Sirekap tidak berfungsi, tetapi yang berfungsi adalah Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU yang digunakan pada Pilpres 2019 dengan alamat pemilu2024.kpu.go.id, yang servernya berada di Tiongkok.
Pakar IT pada Pilpres 2019 untuk paslon Prabowo-Sandiaga Uno itu mengatakan, untuk membuat perhitungan suara pada Sirekap sama dengan hasil perhitungan hitung cepat, pada Sirekap ada software atau script yang bisa mengotak-atik angka, sehingga berapacpun angka yang masuk hasilnya menyerupai hitung cepat.
54 Juta DPT Bermasalah
Maksum menjelaskan, selain menambah atau menggelembungkan jumlah perolehan suara paslon nomor 02, modus lain kecurangan pada Sirekap adalah mengatur waktu suara yang masuk.
Berdasarkan pemantauan tim auditor, ujarnya, ditemukan masuknya suara ke Sirekap diatur. Jumlah suara paslon 01 dan paslon 03 sudah masuk, tapi tidak segera ditampilkan di Sirekap.
“Ini membenarkan hipotesis saya bahwa ketika data masuk 71%, maka operasional Sirekap dihentikan sementara bukan karena pindah server karena saya cek servernya masih di Tiongkok milik Alibaba, saya lebih mengkhawatirkan itu adalah penyesuaian secara digital dan di lapangan,” ujarnya.
Penyesuaian angka ini terkait dengan 54 juta DPT yang tidak terverifikasi oleh KPU. DPT yang bermasalah itu, menurut Maksum, bisa menghasilkan surat suara yang beredar di luar TPS.
Maksum menyebut, 54 juta DPT bermasalah itu sengaja diciptakan dan kodenya ditutup, tidak ada nomor induk kependudukan (NIK), KK dan tanggal lahir pemilih. DPT bermasalah itu untuk penyesuaian akhir di lapangan dan menyesuaikan perhitungan Sirekap dengan hitung cepat.
Dia menambahkan, kasus DPT bermasalah ini juga terjadi pada Pilpres 2019. (*)