Teheran – Iran akan menggelar pemungutan suara untuk menentukan wakil rakyat di parlemen pada 1 maret 2024 mendatang. Beberapa hari menjelang pemungutan suara, kantor berita Azar Qalam justru menyatakan tingkat partisipasi masyarakat hanya di kisaran 30 persen. Ini karena masyarakat melihat ketidakmampuan parlemen membuat kebijakan yang baik, tingginya tingkat korupsi nasional, serta kecilnya harapan mendapat masa depan lebih baik.
Komandan Garda Revolusi Iran, Hossein Salami, terus berusaha mendorong masyarakat menggunakan hak pilihnya di hari pemungutan suara. Ia menyadari, situasi yang terjadi sekarang merupakan imbas kian melebarnya kesenjangan antara elit politik dengan masyarakat. Terutama usai aksi brutal aparat keamanan terhadap aksi unjuk rasa perempuan pada tahun 2022 lalu.
“Sebagai seorang prajurit sederhana yang semata mengabdi kepada masyarakat, saya mengajak bangsa Iran untuk memandang pemilu mendatang sebagai hal yang sangat penting. Pemilu bukan sekedar memilih kandidat. Dampaknya bersifat global. Tingginya jumlah pemilih menunjukkan bahwa Iran bisa mengandalkan kemauan dan suara rakyat di tengah kesulitan,” kata Salami.
Mehrdad Darvishpour, profesor sosiologi dari Universitas Mälardalen di Swedia, mengatakan sistem politik di Iran berkembang lebih radikal dan otoriter. Ruang kritik pun menyempit. Sebelum pemilihan parlemen pada tanggal 1 Maret, beberapa kandidat yang kritis terhadap pemerintah didiskualifikasi. Komisi pemilihan umum juga mengeluarkan nama sejumlah anggota parlemen dari daftar pemilu dengan alasan “kualifikasi ideologi yang tidak memadai”.
“Dalam sejarah Republik Islam sejak tahun 1979, ada masa-masa ketika masyarakat percaya pada reformasi sesuai hukum dan standar sistem serta menggunakan pemilu sebagai kesempatan untuk melakukan protes. Tujuannya adalah untuk memukul mundur para pemimpin agama dan memperkuat elemen demokrasi. Namun, hasilnya tidak pernah membawa reformasi nyata karena sistemnya tidak mengikuti kemauan masyarakat,” katanya.
Menurut kantor berita pemerintah, IRNA, pemilu kali ini akan diikuti sekitar 15.200 kandidat yang akan bersaing memperebutkan 290 kursi di badan legislatif. Sebagian besar calon, terutama di daerah pemilihan kecil, berprofesi sebagai dokter, insinyur, pegawai negeri dan guru yang bukan anggota kelompok politik mana pun. Dengan mengizinkan jumlah kandidat yang relatif besar, pemerintah ingin menciptakan persaingan di tingkat lokal dan meningkatkan jumlah pemilih.