Jakarta – Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Hamid Awaluddin, mengatakan hanya kritik yang bisa menjaga demokrasi tetap hidup dan adil.
Tanpa disadari, kritik telah dibungkam selama 10 tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), karena popularitas Jokowi yang bahkan seolah tanpa cela di mata publik.
Itu sebabnya, berbagai kritikan terhadap pemerintahan Jokowi, dianggap sebagai serangan, bahkan diframing seolah Jokowi dizalimi dan direndahkan.
Hamid mengugkapkan, ketidaksadaran masyarakat akan pentingnya kritik dalam menjaga demokrasi inilah yang membuat penguasa semakin leluasa melakukan berbagai ketidakadilan dan berlindung dibalik popularitas untuk membuat masyarakat bias terhadap persoalan yang sebenarnya.
Sebagai contoh, ketika Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, mengkritik Jokowi dan mengingatkan tentang posisinya sebagai kader partai, publik bereaksi dengan menyuarakan PDI Perjuangan tanpa Jokowi bukan apa-apa, bahkan ada gerakan untuk menggemboskan suara PDI Perjuangan di Pemilu 2024.
Padahal, lanjut Hamid, sebagai politisi yang banyak makan asam-garam politik, Megawati tentu memiliki radar dan intuisi yang sangat sensitif terhadap perkembangan politik, dan sudah melihat ada gelagat yang tidak beres dalam roda kekuasaan.
“Ibu Mega itu pendiam dalam politiknya, tidak mengkritik terang-terangan di publik dan diliput media, tapi mendadak ibu Mega mengguntur. Saya melihat hal itu karena beliau menyaksikan adanya kecenderungan kekuasaan saat ini menginjak-nginjak demokrasi dan konstitusi yang ia perjuangkan berpuluh-puluh tahun,” ujar Hamid Awaluddin.
Tak hanya itu, ketika para guru besar universitas ternama, seperti Universitas Indonesia (UI), dan Univeritas Gajah Mada (UGM) mengkritik pemerintahan Jokowi dan jalannya Pemilu yang tidak jujur dan adil sehingga membahayakan demokrasi, publik juga bereaksi dengan merendahkan para guru besar yang dianggap bak orkestrasi elektoral pesanan.
Menurut Hamid, kritik terhadap demokrasi yang terinjak seiring rentetan sirkus politik yang terjadi menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, seharusnya menjadi kritik publik, bukan hanya kritik seorang Megawati atau para guru besar.
Masyarakat, lanjutnya, justru harus bersikap kritis terhadap rentetas sirkus politik yang mengancam demokrasi. Ada sirkus Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas usia calon wakil presiden (cawapres) kemudian muncul anak presiden sebagai wapres.
Selain itu, ada sirkus partai politik yang tiba-tiba mencalonkan orang yang tidak memiliki hubungan politik, ada juga sirkus politik seorang ketua partai sudah bertahun-tahun mengiklankan diri menjadi capres atau cawapres tiba-tiba memberikannya kepada orang lain.
“Nah teman-teman semua, agar kita tidak ikut-ikut keinjak, agar kita tidak ikut-ikut kehimpit oleh adegan politik yang tidak lucu ini, Anda harus tetap berpikir kritis. Dalam demokrasi, hanya kritiklah yang bisa menjaga kehidupan demokrasi. Kalau kritik sudah dibungkam, itu adalah awal malapetaka demokrasi,” kata Hamid, dalam tayangan Hamid on Talk (HOT), dikutip Rabu (28/2/2024).
Asas Keadilan
Hamid juga mengingatkan bahwa demokrasi juga berdiri di atas keadilan, di mana kesempatan terbuka bagi semua orang dan tidak ada yang mendapatkan hak istimewa atau diistimewakan (priviledge).
Pernyataan itu, disampaikan Hamid untuk mengkritisi pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai wapres paslon nomor urut 2, yang diframing seolah-olah ada penolakan elit politik terhadap orang muda untuk memimpin Indonesia.
Mantan Menteri Hukum dan HAM itu mencontohkan Susi Susanti yang menjadi juara tunggal putri di Olimpiade saat berusia 21 tahun.
Begitu juga dengan Lionel Messi yang membawa Argentina menjadi juara dunia saat berusia 35 tahun.
Publik mengagumi pencapaian Susi Susanti dan Lionel Messi bukan karena usia mereka yang masih muda, melainkan karena prestasi yang ditorehkan merupakan buah dari perjuangan panjang yang dilakukan keduanya.
“Ironisnya proses naiknya Gibran menjadi wapres tidak melalui jalur prestasi, tetapi tiba-tiba melejit dan mengorbankan atau menutup pintu bagi orang lain yang telah berkeringat atau berinvestasi politik,” ungkap Hamid.
Dia mengungkapkan, orang-orang Golkar yang tiba-tiba mencalonkan Gibran padahal Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartarto sudah 2 tahun mengiklankan diri mau maju di Pilpres 2024, bukan hanya menimbulkan tanda tanya, tetapi juga melahirkan ketidakadilan dalam demokrasi.
“Kira-kira fair enggak dalam demokrasi? Ya tidak dong, masa ada orang yang tidak investasi di partai politik itu tiba-tiba ke atas sementara orang yang berinvestasi tidak dapat apa-apa? fairness-nya tidak ada,” kata Hamid.
Menurut dia, pencalonan Gibran jangan disepelekan dengan framing seolah-olah para elit politik tidak senang kalau anak muda menjadi pemimpin negara, sehingga persoalan mendasar jadi terlupakan.
Mantan Dubes RI untuk Rusia itu menjelaskan, persoalan mendasar dari pencalonan Gibran sebagai wapres adalah prestasi, investasi sosial, dan politik yang tidak digubris, sehingga Gibran mendapatkan hak-hak istimewa melampaui warga negara yang lain yang sudah melakukan investasi politik untuk kontestasi pemilu.
“Ingat ya, demokrasi itu adalah soal fairness karena kesempatan terbuka bagi semua orang, tidak boleh ada orang mendapatkan hak istimewa dan menutup peluang orang lain. Itu yang ingin saya katakan dan itu pekik saya terhadap situasi yang ada saat ini,” tutur Hamid. (*